Indirect Evidence Sebagai Alat Bukti Kartel Dipersoalkan
Berita

Indirect Evidence Sebagai Alat Bukti Kartel Dipersoalkan

Sejarah pengaturan indirect evidence, didasari pertimbangan bahwa memang sulit memperoleh bukti langsung dari praktek kartel.

Oleh:
M-7
Bacaan 2 Menit
Indirect Evidence sebagai alat bukti kartel dipersoalkan. <br> Foto: Sgp
Indirect Evidence sebagai alat bukti kartel dipersoalkan. <br> Foto: Sgp

Tampaknya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) akan terus mendapatkan kritikan pedas dari para pelaku usaha, praktisi hukum, pengamat ekonomi dan akademisi. Kali ini, KPPU dipersoalkan karena hanya bersandarkan pada satu alat bukti dalam menangani perkara-perkara kartel.

 

Dalam hal ini, dua kasus yang menjadi sorotan adalah ketika KPPU menangani perkara fuel surcharge maskapai penerbangan dan perkara produsen minyak goreng. Kedua perkara yang telah diputus KPPU ini terkait dengan dugaan praktik kartel.

 

Yang menjadi masalah, KPPU tidak menemukan perjanjian tertulis yang dilakukan para pelaku usaha untuk melakukan praktek Kartel. Padahal, merujuk pada Pasal 11 UU No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, perjanjian adalah unsur utama.

 

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

 

Dalam seminar yang diadakan hukumonline, Rabu lalu (28/7), advokat Refman Basri melontarkan pertanyaan apakah “perjanjian” dimaksud Pasal 11 berarti harus tertulis. Masalahnya, menurut Refman, KPPU seringkali tidak menemukan adanya bukti berupa perjanjian tertulis.

 

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Ningrum Natasya Sirait menjelaskan, bahwa yang dimaksud perjanjian dalam hukum persaingan usaha adalah perjanjian tertulis atau tidak tertulis.

Tags: