MA Kembali Pertimbangkan Sistem Kamar Penanganan Perkara
Berita

MA Kembali Pertimbangkan Sistem Kamar Penanganan Perkara

Jika ego sektoral ini terjadi, dikhawatirkan sistem kamar ini tidak akan pernah berjalan karena hakim agung dari peradilan umum jumlahnya sedikit sementara perkara yang masuk banyak.

Oleh:
ASh
Bacaan 2 Menit
Ketua MA Harifin A Tumpa MA kembali pertimbangkan sistem kamar <br>penanganan perkara. Foto: Sgp
Ketua MA Harifin A Tumpa MA kembali pertimbangkan sistem kamar <br>penanganan perkara. Foto: Sgp

Wacana untuk membentuk sistem kamar dalam penanganan perkara di Mahkamah Agung (MA) kembali bergulir. Wacana yang kerap muncul dalam seleksi hakim agung baik di Komisi Yudisial (KY) maupun fit and proper test di DPR dan forum-forum diskusi itu, kini direspon MA yang akan melakukan kajian terhadap sistem itu.

 

“Konsep sistem kamar sementara akan kita kaji oleh sebuah tim pembaruan dan dari luar,“ kata Ketua MA Harifin A Tumpa usai menunaikan sholat Jum’at di Gedung MA Jakarta, (7/1).

 

Sistem kamar ini didasarkan pada spesialisasi bidang hukum yang dikuasai oleh hakim agung. Kamar yang diusulkan ini terdiri dari pidana,  tata usaha negara, militer, perdata, dan agama. Dengan demikian, hakim agung hanya boleh menangani perkara sesuai keahliannya. 

 

Faktanya, selama ini hakim agung yang menangani perkara tidak sesuai dengan keahliannya lantaran hakim dilarang menolak perkara dan dianggap mengetahui hukum. Namun, kondisi itu mengakibatkan sejumlah putusan MA dinilai unprofessional. Karena itu, sistem kamar ini diharapkan selain dapat mengurangi tumpukan ribuan perkara, juga dapat meningkatkan kualitas putusan para hakim agung.        

 

Menurut Harifin, sistem kamar memiliki beberapa pilihan konsep. Salah satunya, konsep sistem kamar yang berlaku di Belanda. “Kita sudah mendengarkan Ketua MA Belanda yang memaparkan sistem kamar di sana saat datang kesini,” kata Harifin.  

 

Harifin sendiri berpendapat pembagian sistem kamar sebaiknya cukup dua yakni pidana dan perdata. “Nantinya, dalam kamar perdata dibagi menjadi perdata umum, perdata khusus, agama, dan TUN. Sedangkan kamar pidana dibagi menjadi pidana umum, pidana khusus, dan pidana militer,” katanya.

 

Ia beralasan jika sistem lima kamar diterapkan akan ada struktur ketua muda (Tuada) yang bisa dilikuidasi, seperti Tuada Pengawasan dan Tuada Pembinaan. “Dari konsep saya ini masih dimungkinkan adanya bantuan dari antar subkamar. Misalnya, kamar perdata umum dan perdata khusus masih mungkin untuk memperbantukan majelis dalam perkara perdata agama atau perkara lainnya.” 

 

Ia berharap sistem kamar ini sudah mulai bisa berjalan pertengahan tahun ini. “Mudah-mudahan pertengahan tahun ini sistem ini sudah mulai jalan, nanti hasilnya mungkin akan kita tuangkan dalam bentuk Perma,” katanya.     

 

Menurut Harifin, untuk melaksanakan sistem ini, proses seleksi calon hakim agung yang selama ini dilakukan KY dan DPR harus memperhatikan kebutuhan di MA. Misalnya, sejauh ini perkara yang masuk didominasi perkara dari lingkungan peradilan umum yaitu perkara pidana dan perdata, sementara perkara bidang hukum lain relatif sedikit. 

 

“Tentunya, dalam proses seleksi calon hakim agung harus disesuaikan dengan kebutuhan dan prosentase perkara yang berjalan MA, nanti calon-calon hakim yang diusulkan disesuaikan dengan itu,” harapnya.

 

Ego sektoral

Menanggapi wacana ini, Ketua Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI FHUI) Hasril Hertanto menyambut baik jika sistem ini diterapkan di MA. Namun, ia mengingatkan bahwa penerapan sistem ini membutuhkan political will dari pimpinan MA dan para hakim agung sendiri. Sebab, berdasarkan pengamatannya ada ego sektoral terkait banyaknya jumlah hakim agung tertentu di MA yang bakal mempengaruhi efektivitas penerapan sistem kamar.      

 

“Jadi terjadi lagi ego sektoral, karena ada beberapa hakim agung dari lingkungan peradilan tertentu yang ingin memperbanyak anggotanya di lingkungannya. Sekarang ini jumlah hakim agung agama paling banyak di MA padahal dari segi jumlah perkara agama, militer, atau TUN yang masuk sangat sedikit,” ungkapnya. “Masak jika perkara yang masuk per tahun sejumlah 300 perkara harus ditangani lebih dari 10 hakim agung?”  

 

Ia menegaskan sekitar 49 hakim agung yang ada saat ini selain didominasi hakim agung agama, juga didominasi hakim agung nonkarir, sehingga hakim agung yang berasal dari peradilan umum seperti merasa “terganggu” kepentingannya. “Jika ego sektoral ini terjadi, ia khawatir sistem kamar tidak akan pernah berjalan karena hakim agung (peradilan umum) jumlahnya sedikit, sementara perkara yang masuk  lebih banyak,” dalihnya.

 

Jadi solusinya, jumlah hakim agung yang memiliki keahlian tertentu mestinya disesuaikan jumlah dan jenis perkara yang masuk di MA. “Misalnya, hakim agung militer harusnya jumlahnya tidak perlu banyak karena kasusnya sedikit,” ujarnya mencontohkan.

Tags: