KPK Minta RUU Tipikor Ditarik
Berita

KPK Minta RUU Tipikor Ditarik

Karena bentuk pelemahan terhadap pemberantasan korupsi terlihat nyata di RUU itu.

Oleh:
Fat
Bacaan 2 Menit
Ketua KPK, Busyro Muqoddas sarankan pemerintah tarik<br> RUU Tipikor, Foto: Sgp
Ketua KPK, Busyro Muqoddas sarankan pemerintah tarik<br> RUU Tipikor, Foto: Sgp

Revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi masuk menjadi Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2011 di parlemen. Dalam RUU yang merupakan inisiatif dari pemerintah ini ditengarai sarat upaya pelemahan terhadap pemberantasan korupsi.

 

“Kalau (draf) itu  tetap dipertahankan, itu pelemahan. Bukan hanya kepada KPK, tapi juga kepada komitmen bangsa ini termasuk pemerintah untuk melakukan perlawanan terhadap korupsi,” kata Ketua KPK, Busyro Muqoddas usai memberikan kuliah umum di LBH Jakarta, Senin (28/3).

 

Karena itu Busyro menyarankan pemerintah menarik kembali RUU tersebut. Seharusnya, pemerintah melakukan survei dulu kepada masyarakat sebelum menyusun RUU. Bila perlu, pemerintah bersama Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan akademisi melakukan kajian khusus terkait penyusunan RUU.

 

Ini dilakukan agar RUU tidak menjadi ‘bola liar’ sehingga merugikan pemerintah sendiri. Saran yang sama juga diajukan Busyro ke penyusunan RUU revisi UU KPK yang diinisiasi parlemen. Dikhawatirkan, jika pada awalnya draf RUU sudah dinilai cacat, kedepan semakin buruk. “Pemegang hak inisiatif itu seharusnya menarik dulu, kemudian ditempuh dengan jalan struktur demokrasi.

 

Selain meminta masukan dari masyarakat, Busyro juga berharap dalam menyusun RUU, baik pemerintah ataupun dewan meminta masukan dari lembaga yang akan menjalankan aturan tersebut. Misalnya saja meminta masukan terlebih dulu dari KPK sebelum menyusun RUU Pemberantasan Korupsi dan RUU KPK. “Dan kami siap (beri masukan),” katanya.

 

Salah satu yang disorot Busyro dalam RUU ini mengenai hukuman para koruptor. Selain hukuman yang berat, ia mengusulkan agar para koruptor yang terbukti melakukan korupsi juga harus dikenakan hukuman ‘moral’ dan sosial. Misalnya, mengenakan baju yang bertuliskan ‘Saya Koruptor’ dan membersihkan jalan-jalan umum setiap minggunya. Upaya ini, dilakukan sehingga menimbulkan efek jera bagi pelaku korupsi tersebut. “Itu pandangan saya pribadi,” ujarnya.

 

Untuk mengingatkan, Indonesia Corruption Watch (ICW) melihat ada sejumlah norma yang hilang dalam draf RUU Pemberantasan Korupsi. Hilangnya norma-norma itu, mengindikasikan terjadinya pelemahan terhadap pemberantasan korupsi. Pertama, hilangnya ancaman hukuman mati yang sebelumnya diatur di Pasal 2 ayat (2) UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi.

 

Sebagaimana diketahui, Pasal 2 merupakan pasal yang sering digunakan KPK untuk menjerat para tersangka korupsi. ICW mencatat sedikitnya ada 42 tersangka korupsi yang dijerat KPK dengan Pasal 2 sepanjang tahun 2010 lalu.

 

Berikutnya, hilangnya ancaman hukuman minimal di sejumlah pasal RUU. Menurut ICW, hal ini bertolak belakang dengan sifat korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Setidaknya, ada tujuh pasal yang tidak mencantumkan ancaman hukuman minimal. Seperti, penggelapan dana bencana alam, pengadaan barang dan jasa tanpa tender, konflik kepentingan, pemberi gratifikasi dan pelaporan yang tidak benar tentang harta kekayaan.

 

Kemudian, terdapatnya pelemahan sanksi untuk ‘mafia hukum’ seperti suap untuk aparat penegak hukum. Dalam UU Pemberantasan Korupsi sebelumnya, ancaman minimal kepada mafia hukum seperti ini empat tahun dan maksimal 20 tahun. Sedangkan, di RUU yang sekarang ancaman minimalnya satu tahun, dan maksimal tujuh tahun.

 

Dan yang paling krusial, ada pasal yang mencantumkan bahwa kerugian negara di bawah Rp25 juta bisa dilepas penuntutannya. Ini terdapat dalam Pasal 52 RUU. Dalam RUU juga tak disebutkan secara jelas kewenangan penuntutan KPK. Satu lagi, tak ditemukannya aturan pidana tambahan seperti pembayaran uang pengganti, kerugian negara, perampasan barang yang digunakan dan hasil korupsi serta penutupan perusahaan yang terkait korupsi.

Tags: