Pemerintah Didesak Tuntaskan Kasus Blok Montara
Utama

Pemerintah Didesak Tuntaskan Kasus Blok Montara

Jika negosiasi dengan Australia tidak berhasil, pemerintah siap menyelesaikan kasus Blok Montara ke pengadilan internasional.

Oleh:
M Agus Yozami
Bacaan 2 Menit
IRESS berharap pemerintah tuntaskan kasus<br>pencemaran di Blok Montara. Foto: iress.web.id
IRESS berharap pemerintah tuntaskan kasus<br>pencemaran di Blok Montara. Foto: iress.web.id

Dua tahun telah berlalu, namun kejelasan ganti rugi pencemaran Blok Montara di Laut Timor tidak diketahui ujungnya. Padahal, pencemaran tersebut telah berdampak dahsyat terhadap kehidupan masyarakat di Kabupaten Rote Ndao, Kabupaten Sabu Raijua. Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (Iress), Marwan Batubara, menagih sikap pemerintah dalam penyelesaian kasus ini.

 

Dalam sebuah diskusi bertema “Menuntut Sikap Tegas Pemerintah dalam Penyelesaian Pencemaran Minyak Montara” yang berlangsung di Gedung Dewan Pers, Selasa (26/7), Marwan menegaskan perlu segera dilakukan klaim berdasarkan dampak langsung kepada masyarakat, kerusakan secara fisik oleh adanya tumpahan minyak dan dampak terhadap lingkungan sampai periode pemulihan.

 

“Pemerintah mestinya segera menindaklanjuti dampak buruk pencemaran terhadap kehidupan masyarakat dengan klaim ganti rugi kepada PTTEP Australasia,” ujarnya.

 

Menurut Marwan, pemerintah sangat lamban menuntaskan persoalan ini sehingga masyarakat di Provinsi NTT menjadi korban dampak pencemaran. Setidaknya, pencemaran itu menyebabkan masyarakat pesisir, nelayan, dan Pemerintah Daerah NTT menderita kerugian mencapai Rp510 miliar. Jumlah itu, kata Marwan, hanya ganti rugi sosial, belum termasuk ganti rugi kerusakan lingkungan yang telah diakibatkan oleh pencemaran.

 

Sekadar mengingatkan, pada 21 Agustus 2009 sumur minyak Montara milik PTTEP Australasia (Ashmore Cartier) Pty Ltd (PTTEP-AA) meledak. Kemudian, pada 9 November 2009 kebocoran dapat diatasi. Namun, selama rentang waktu tersebut, kebocoran telah menimbulkan pencemaran yang melintasi wilayah perairan Indonesia, tepatnya di sekitar wilayah perairan Laut Timor. Akibatnya, warga khususnya nelayan yang tinggal di sekitar perairan laut timor menderita kerugian baik moril dan materiil.

 

Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2009 melansir, 29 hari setelah ledakan, tumpahan minyak menyebar ke arah barat, berada sekitar 110 km pesisir Namodale, Rote Ndao dan 121 km Oetune, Kupang, NTT. Citra satelit Terra-MODIS pada 28 September 2009 mendeteksi tumpahan minyak kembali mendekati perairan Indonesia dengan jarak paling dekat, sekitar 47 km dari pesisir Rabe, Kupang dan 65 km dari Batuidu, Rute Ndao, NTT.

 

Pada Mei 2011, Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) mengungkapkan, tidak ditemukan lagi tumpahan minyak di pantai-pantai NTT secara signifikan seperti pada awal waktu kejadian. Menurut YPTB, ini disebabkan karena tumpahan minyak telah ditenggelamkan oleh AMSA (Australia Maritime Safety Authority) dengan menggunakan bubuk kimia beracun Corexit 9500 dalam jumlah yang sangat besar.

 

Faktanya, Tim Nasional Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut (Tim Nas PKDTML) hanya mengikuti skenario PTTEP Australasia, dan bersepakat menyatakan tidak ditemukan tumpahan di perairan. “Hasil penelitian YPTB menunjukkan, tumpahan minyak Montara bercampur zat timah hitam dan Corexit 9500 masih mengendap di dasar laut,” kata Marwan.

 

Mantan Anggota DPD ini juga membandingkan sikap Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Amerika Serikat. Presiden Amerika Serikat, Obama, dalam waktu tiga bulan telah mampu memberikan arah yang jelas dalam menyelesaikan permasalahan serupa, yakni pencemaran minyak di Teluk Meksiko.

 

Negosiasi

Pemerintah sendiri mengaku serius dalam menangani masalah ini. Bahkan, pemerintah telah membuat Tim Advokasi Tuntutan Ganti Rugi Pencemaran Laut Timor untuk menetapkan nilai kerugian Indonesia. Pada 3 Oktober 2011, tim akan menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan PTTEP Australasia tentang tata cara pengajuan dan pembayaran ganti rugi.

 

Menurut ketua tim advokasi Masnellyarti Hilman, selain tata cara pembayaran ganti rugi, MoU juga membahas batas waktu persyaratan CSR. Namun, ia menolak menyebutkan nilai dan batas waktu CSR tersebut. Menurutnya, CSR dibayar lebih dulu sebelum pembayaran ganti rugi.

 

Deputi IV Bidang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), Limbah B3 dan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup ini berdalih, sampai sekarang besaran ganti rugi belum dapat dipastikan karena butuh waktu panjang untuk memverifikasi banyak hal di lapangan. “Hingga sekarang sudah dua verifikasi yang dilakukan. Salah satunya, dampak ledakan minyak terhadap nelayan,” katanya di acara yang sama.

 

Dalam MoU juga dibahas pihak penengah yang akan membantu jalannya verifikasi dan negosiasi ganti rugi. Menurut Masnellyarti, tim advokasi masih mendiskusikan satu pasal yang dinilai prinsipil dalam MoU. Kamis pekan ini tim akan membahas pasal tersebut. Sayangnya, Masnellyarti tidak mau menjelaskan isi pasal dan dua alternatif dalam pasal itu.

 

Untuk diketahui, sampai saat ini, Australia masih melakukan verifikasi atas kasus tumpahan minyak tersebut. Padahal, sebelumnya Pemerintah Australia sudah bersedia mengakui perairan Indonesia tercemar akibat tumpahan kilang minyak Montara oleh PTTEP Australasia yang terjadi di Blok Atlas Barat Laut Timor. Pemerintah Indonesia sendiri pernah mengajukan tuntutan Rp22 triliun kepada PTTEP dan Pemerintah Australia atas masalah ini.

 

Sekadar catatan, Pasal 54 ayat (1) UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menegaskan, setiap orang yang melakukan pencemaran dan atau perusahaan lingkungan hidup wajib melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup.

 

Selain itu, Pasal 11 dalam Peraturan Presiden (Perpres) No 109 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut menyatakan, setiap pemilik atau operator kapal, pimpinan tertinggi perusahaan minyak dan gas bumi atau penanggung jawab tertinggi kegiatan pengusahaan minyak lepas pantai, yang karena kegiatannya mengakibatkan terjadinya tumpahan minyak di laut, bertanggung jawab mutlak atas biaya.

 

Biaya itu meliputi penanggulangan tumpahan minyak di laut, penanggulangan dampak lingkungan akibat tumpahan minyak di laut, kerugian masyarakat akibat tumpahan minyak di laut, serta kerusakan lingkungan akibat tumpahan minyak di laut. Dengan adanya regulasi ini, pemerintah menyatakan siap membawa kasus Montara ini ke pengadilan internasional jika negosiasi dengan Australia tak berhasil. “Kami memiliki data dan argumen yang kuat,” tandas Masnellyarti.

 

Tags: