Sebelas Jenis Jabatan Terlarang Bagi Hakim
Berita

Sebelas Jenis Jabatan Terlarang Bagi Hakim

Ketua Pengadilan Negeri tidak boleh jadi anggota Muspida. Namun hakim boleh menjadi pengurus organisasi nirlaba bidang hukum dan sosial kemasyarakatan.

Oleh:
Mys/ASh
Bacaan 2 Menit
Sebelas jenis jabatan
Sebelas jenis jabatan " Haram" bagi hakim. Foto: Ilustrasi (SGP)

Pemerintah menetapkan sebelas jabatan rangkap yang terlarang bagi hakim. Hakim dalam pengertian ini meliputi hakim agung dan hakim yang bertugas di badan peradilan di bawah Mahkamah Agung, termasuk peradilan khusus. Larangan ini ditetapkan demi menjaga independensi hakim. Salah satu prinsip penting negara hukum adalah jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya.

 

Pembatasan jabatan itu mulai berlaku sejak 22 Juli lalu, yakni saat diundangkannya PP No 36 Tahun 2011. Bukan berarti selama ini tidak ada pembatasan atau larangan jabatan rangkap. PP ini menggantikan regulasi sejenis tahun 1993 yang dinilai sudah tidak sesuai perkembangan.

 

Hakim tak boleh merangkap menjadi pejabat negara lainnya seperti pimpinan atau anggota DPR, anggota Badan Pemeriksa Keuangan, menteri, gubernur, dan bupati/walikota. Ia juga tidak boleh menduduki jabatan struktural atau jabatan fungsional pada instansi pemerintah pusat dan daerah. Jabatan fungsional dimaksud adalah jabatan fungsional dengan status pegawai negeri sipil seperti peneliti dan dosen tetap.

 

Selain ketiga jabatan di atas, hakim terlarang menduduki jabatan sebagai arbiter dalam suatu sengketa perdata. Terlarang juga menjadi anggota Panitia Urusan Piutang dan Lelang Negara (PUPLN). Dari segi bisnis, hakim tidak boleh menduduki jabatan sebagai komisaris, dewan pengawas, atau direksi di BUMN/BUMD.

 

Demikian pula untuk jabatan pimpinan atau anggota pada lembaga non-struktural. Misalnya pimpinan Komisi-komisi negara, Komisi, Komite, Badan, dan Lembaga. Jadi, hakim dilarang menjadi anggota KPK, Komite Akreditasi Nasional, Komite Nasional Keselamatan Transportasi, dan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah.

 

Larangan lain adalah menjadi notaris, pejabat sementara notaris, notaris pengganti, dan notaris pengganti khusus. Demikian pula Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Selanjutnya, hakim dilarang menduduki jabatan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan tidak diperbolehkan. Misalnya menjadi advokat. Terakhir, hakim dilarang menjadi anggota Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida).

 

Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Mirza Nasution, sependapat dengan langkah pemerintah membuat batasan jabatan rangkap hakim. Jika tidak dibuat larangan, hakim berpotensi diintervensi kekuatan luar. Apalagi jika hakim atau Ketua Pengadilan Negeri setempat masuk dalam Muspida. Potensi intervensi itu lebih besar mengingat kemungkinan Pemda atau satuan kerja di lingkungan Pemda menjadi pihak dalam perkara yang akan ditangani sang hakim.

 

Juru bicara Komisi Yudisial, Asep Rahmat Fajar, menyambut baik terbitnya PP tersebut. Pembatasan jabatan rangkap, kata dia, akan mendorong hakim lebih profesional. “Bisa fokus pada pekerjaan,” ujarnya kepada hukumonline.

 

Larangan rangkap jabatan bagi hakim sudah ada sejak dulu. Namun hingga kini, Komisi Yudisial belum pernah menerima pengaduan atas jabatan rangkap hakim, baik di Ibukota maupun di daerah.

 

Dalam peringatan enam tahun Komisi Yudisial, Kamis (18/8) kemarin, Saldi Isra juga mengingatkan pentingnya independensi hakim dalam memutus perkara, terutama menghindari intervensi dari pihak lain. Hakim harus bersikap mandiri.

 

Sikap kemandirian hakim dijelaskan lebih lanjut dalam Surat Keputusan Bersama Ketua MA dan Ketua Komisi Yudisial 8 April 2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Mandiri berarti mampu bertindak sendiri tanpa bantuan pihak lain, bebas dari campur tangan siapapun dan bebas dari pengaruh apapun. Penerapannya dapat dilihat dari sikap bebas hakim dari “hubungan yang tidak patut dengan lembaga eksekutif maupun legislatif serta kelompok lain yang berpotensi mengancam kemandirian hakim dan badan peradilan.

 

Mengenai jabatan, Surat Keputusan Bersama itu masih membolehkan hakim menjabat sebagai pengurus atau anggota organisasi nirlaba yang bertujuan untuk perbaikan hukum, sistem hukum, administrasi peradilan, lembaga pendidikan dan sosial kemasyarakatan, sepanjang tidak mempengaruhi sikap kemandirian hakim.

Tags: