Advokat Seharusnya Hanya Takut Kode Etik
Berita

Advokat Seharusnya Hanya Takut Kode Etik

Bila penegakan hukum berjalan dengan baik, yang paling diuntungkan adalah advokat.

Ali
Bacaan 2 Menit
Advokat Senior Humphrey Djemat (kanan). Foto: SGP
Advokat Senior Humphrey Djemat (kanan). Foto: SGP

Siapa atau apa yang paling ditakuti oleh advokat ketika menjalani profesinya sebagai penegak hukum? Jika Anda menjawab advokat takut kepada hakim atau takut kehilangan klien, jawaban Anda kurang tepat. Advokat Senior Humphrey Djemat menuturkan di dunia ini, advokat tak takut kepada siapa atau apapun, kecuali kepada kode etik advokat.

“Advokat tak pernah takut sama Presiden, Polisi atau Hakim. Dia independen. Perannya seperti gelandang (dalam permainan sepakbola,-red). Advokat di seluruh dunia hanya takut kepada penegakan kode etiknya,” ujarnya ketika menemani ‘curhatan’ para sesepuh penegak hukum di Jakarta, pekan lalu. 

Pelanggaran kode etik sejatinya adalah sesuatu yang paling ditakuti oleh advokat. Pasalnya, salah satu sanksi dari pelanggaran kode etik adalah pencabutan izin kartu advokat. Dengan dicabut izin ini maka si advokat tak bisa lagi menjalankan profesinya sebagai advokat.

Sayangnya, lanjut Humphrey, kondisi ideal ini belum tercapai di Indonesia. Saat ini, penegakan kode etik dan pengawasan terhadap advokat belum berjalan dengan baik. “Sudah banyak advokat yang dipidana, seharusnya organisasi advokat segera memecat orang-orang tersebut dari profesi advokat seumur hidup,” ujarnya.

Selain itu, Humphrey juga berharap kondisi penegakan hukum di Indonesia ke depan harus semakin membaik. Ia menuturkan bila penegakan hukum di Indonesia berjalan dengan baik maka orang yang paling diuntungkan adalah advokat. “Saya sering bicarakan ini ke teman-teman advokat. Kalau penegakan hukum berjalan baik, yang untung adalah lawyer,” ujarnya.

Mengapa? Karena bila penegakan hukum berjalan dengan baik, maka advokat yang memiliki keahlian atau skill yang baik yang akan berjaya. “Karena skill-nya bisa berjalan. Kompensasinya pun semakin tinggi. Sekarang ini kan yang ‘dihargai’ adalah orang (advokat) yang bisa bermain ‘di bawah meja’,” ungkap Humphrey.

Berdasarkan catatan hukumonline, sebenarnya tak sedikit advokat yang dihukum oleh Dewan Kehormatan Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI), selaku organisasi advokat. Para advokat yang divonis bersalah dalam kasus hukum pun dijanjikan akan diberhentikan secara otomatis sebagai advokat bila sudah divonis dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap. Salah satu contohnya adalah yang menimpa advokat Haposan Hutagalung

Contoh lainnya adalah yang menimpa Todung Mulya Lubis. Advokat senior di Indonesia juga pernah merasakan ‘keras’-nya hukuman dari Dewan Kehormatan PERADI. Pada 2008, izin advokat Todung dicabut karena dinyatakan melanggar kode etik mengenai larangan benturan kepentingan dalam menangani perkara. Namun, Todung justru ‘lompat pagar’ ke Kongres Advokat Indonesia (KAI), organisasi advokat lain yang belakangan muncul dan juga mengklaim sebagai wadah tunggal advokat.

Selain adanya perpecahan advokat, salah satu sebab kode etik sulit ditegakkan adalah sifat Dewan Kehormatan PERADI yang lebih condong bersikap pasif. Dalam kasus Nazaruddin, misalnya, Dewan Kehormatan baru bisa menindak advokat yang diduga melanggar kode etik bila ada pengaduan.

Ketua Dewan Kehormatan Pusat PERADI Leonard Simorangkir menuturkan sesuai aturan, Dewan Kehormatan hanya bersifat menunggu adanya pengaduan. “Yang berhak melaporkan adalah orang yang merasa dirugikan atau pihak lain yang berkepentingan. Masyarakat bisa saja melaporkan tetapi ‘legal standing’ (kedudukan hukum atau kepentingannya) harus jelas,” ujarnya. 

Tags: