Belajar Konsistensi Putusan Peradilan dari Belanda
Berita

Belajar Konsistensi Putusan Peradilan dari Belanda

Tak semua negara yang menganut sistem civil law ‘haram’ menggunakan yurisprudensi atau preseden.

Ali
Bacaan 2 Menit
Belajar Konsistensi Putusan Peradilan dari Belanda
Hukumonline

Indonesia adalah negara penganut sistem civil law dimana dalam sistem ini hakim dikenal sebagai corong undang-undang. Tak ada keharusan bagi seorang hakim untuk mengikuti yurisprudensi (putusan-putusan hakim sebelumnya) atau preseden. Berbeda dengan negara dengan sistem common law yang mengakui sistem preseden, dimana hakim yang menangani suatu perkara mengikuti putusan-putusan sebelumnya bila ada kemiripan perkara dengan yang ditanganinya.

 

Perbedaan ini ‘dirancang’ sedemikian rupa, hingga ‘doktrin’ ini diajarkan hampir di semua fakultas hukum di Indonesia. Pemahaman ini pun akhirnya terus berlangsung hingga si mahasiswa menjadi hakim. Dampaknya, tak sedikit putusan hakim Indonesia yang saling bertentangan satu sama lain, padahal perkaranya serupa. Alasannya, hakim tak ‘wajib’ mengikuti preseden yang sudah ada.

 

Sebaastian Pompe, pengamat peradilan Indonesia asal Belanda, ingin mengubah pemahaman yang ‘salah kaprah’ ini. Mitos bahwa negara penganut sistem civil law tak mengenal preseden atau yurisprudensi ini terbantahkan bila mengacu ke Negeri Kincir Angin. “Belanda menganut hukum preseden. Tujuannya untuk menjamin kesatuan hukum dan konsistensi putusan pengadilan,” jelasnya ketika menyampaikan kuliah umum di Indonesia Jentera School of Law, Jakarta Senin (6/3).

 

“Jadi, tak semua negara yang menganut sistem civil law itu tak mengenal konsep preseden atau yurisprudensi,” jelas penulis ‘Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung’ ini.

 

Bas –sapaan akrabnya- menjelaskan dengan penerapan preseden atau yurisprudensi ini maka putusan pengadilan di Belanda lebih lengkap dan komprehensif. Berbeda halnya dengan putusan peradilan di Indonesia. “Di Indonesia, putusan peradilannya mirip dengan putusan di Perancis. Misalnya hanya empat halaman. Ini tentu sulit untuk menerapkan konsep preseden atau yurisprudensi,” tuturnya.

 

Dalam praktek, hakim tentu sulit bila diminta untuk merujuk ke putusan sebelumnya bila isi putusannya hanya beberapa kalimat. “Ini yang harus diperbaiki. Bagaimana putusan dijadikan preseden (bila isinya hanya empat kalimat,” sidirnya.

 

Bas yang meneliti sejarah peradilan di Indonesia ini mengaku bingung dengan putusan-putusan hakim di Indonesia saat ini. “Tahun 1950 atau 1960an putusan peradilan sangat lengkap. Konsiderannya brilian. Tetapi saya bingung mengapa sekarang putusan peradilan sekarang isinya sangat singkat dan minim pertimbangan,” tuturnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags: