Revisi UU Ketenagakerjaan Penuh Polemik
Fokus

Revisi UU Ketenagakerjaan Penuh Polemik

Sudah banyak pasal yang dirontokkan MK. Tarik-menarik kepentingan buruh-pengusaha sangat kuat.

Oleh:
Ady
Bacaan 2 Menit
Revisi UU Ketenagakerjaan penuh polemik. Foto: Sgp
Revisi UU Ketenagakerjaan penuh polemik. Foto: Sgp

UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sejatinya dibuat untuk menggantikan produk hukum yang lama karena dianggap menempatkan pekerja pada posisi kurang menguntungkan dalam hubungan industrial. Kenyataan menunjukkan hal berbeda. Beberapa pasal UU Ketenagakerjaan justru dibatalkan Mahkamah Konstitusi karena dinilai merugikan buruh.

Dimulai ketika Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan judicial review yang diajukan Saipul Tavip dkk pada akhir 2004 silam. Kala itu MK membatalkan Pasal 158 yang memberi kewenangan kepada pengusaha untuk memecat secara sepihak buruh yang dituduh melakukan kesalahan berat.

UU Ketenagakerjaan kembali dipereteli pada tahun 2010. Kali ini pengajuan dilakukan Serikat Pekerja Bank Central Asia (SP BCA). Hasilnya Pasal 120 ayat (1) dan ayat (2) UU ketenagakerjaan yang mengatur soal syarat perundingan Perjanjian Kerja Bersama dinyatakan bertentangan dengan konstitusi.

Kemudian pada akhir tahun 2011, sejumlah pekerja mengajukan Pasal 155 ayat (2) tentang upah proses untuk diuji dan dikabulkan MK sebagian.

Terakhir adalah putusan MK di awal tahun 2012 yang mengabulkan permohonan Ketua Umum Aliansi Petugas Pembaca Meteran Listrik Didik Suprijadi terkait pasal yang mengatur mengenai outsourcing. MK menyatakan pasal tersebut inkonstitusional bersyarat.

Pemerintah sebenarnya sadar UU Ketenagakerjaan sudah tak utuh lagi. Makanya Menteri Tenaga dan Transmigrasi (Menakertrans) Muhaimin Iskandar mengatakan UU Ketenagakerjaan layak untuk disempurnakan.

Namun, urusan merevisi atau bahkan mengganti UU Ketenagakerjaan tak semudah membalikkan telapak tangan. Ada tarik-menarik yang kuat antara kepentingan buruh dan pengusaha. Ini juga sebabnya kenapa pemerintah gagal memasukkan rencana revisi UU Ketenagakerjaan ke dalam program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas 2012. Tapi Muhaimin memastikan bahwa revisi UU Ketenagakerjaan dapat diajukan kembali ke DPR.

Sebelum melempar lagi rencana revisi undang-undang, pemerintah terus menggodok pembahasan rencana itu melalui Lembaga Kerja Sama Tripartit Nasional (LKS Tripnas). Namun Kepala Biro Hukum Kemenakertrans, Sunarno tidak menyebutkan apakah rencana itu diarahkan pada revisi parsial atau mengganti keseluruhan UU Ketenagakerjaan. “Masih menunggu masukan,” kata Sunarno di Jakarta, Senin (9/4).

Beda kepentingan
Bicara UU Ketenagakerjaan berarti akan berbicara pula setidaknya dua kepentingan, yaitu kepentingan pekerja dan pengusaha. Karena dua kepentingan ini yang kerap bertolakbelakang dan bahkan cenderung menegasikan. Pekerja menuntut kesejahteraan setinggi-tingginya sedangkan pengusaha ingin untung sebesar-besarnya. Ini pula yang mengakibatkan penyusunan maupun perubahan UU Ketenagakerjaan menjadi berlarut-larut.

Perbedaan mengenai perlu tidaknya revisi UU Ketenagakerjaan ternyata juga terjadi di kalangan buruh. Wakil Sekjen Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Sahat Butar Butar menuturkan ada pro-kontra di tingkat buruh mengenai revisi UU Ketenagakerjaan ini.

Senada, Sekjen Federasi Serikat Pekerja Tekstil Sandang Kulit, Indra Munaswar mengatakan ada sebagian buruh yang menolak keberadaan UU Ketenagakerjaan. Tapi mereka juga tak mendukung rencana revisi UU Ketenagakerjaan. Karena itu sejak tahun 2006 Indra mengaku aktif mengajak buruh untuk menyiapkan draf revisi UU Ketenagakerjaan. Salah satu pemicunya adalah banyaknya putusan MK yang membatalkan UU Ketenagakerjaan. “Kita tidak sekedar menolak, tapi konsep juga harus punya.”

Sementara, dunia usaha menginginkan agar ketentuan di UU Ketenagakerjaan yang tergolong memberatkan pengusaha, direvisi. Salah satu ketentuan yang dianggap memberatkan pengusaha adalah mengenai pesangon.

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Djimanto punya pandangan yang lebih konseptual mengenai pentingnya mengganti UU Ketenagakerjaan. Soalnya menurut dia ada ketidakselarasan antara judul, maksud dan substansi UU Ketenagakerjaan.

Dari isinya, lanjut Djimanto, UU Ketenagakerjaan mayoritas membahas mengenai perburuhan saja. Baginya jika undang-undang itu disebut UU Ketenagakerjaan seharusnya yang termaktub bukan hanya mengatur masalah perburuhan, tapi ketenagakerjaan yang lebih luas, misalnya petani, nelayan dan wiraswasta. Karena sektor pekerjaan yang disebut itu menginginkan kelangsungan pekerjaan dan jaminan sosial, sebagaimana buruh.

Atas dasar itu Djimanto merasa perlu ada pemisahan antara UU Ketenagakerjaan dengan UU yang menyangkut pekerja di sektor lain, namun UU utama ada di UU Ketenagakerjaan. Misalnya UU Ketenagakerjaan hanya membahas perihal pokok ketengakerjaan sedangkan untuk pekerja sektor informal ada UU Sektor Informal, UU Pekerja Migran dan lain sebagainya. Menurut Djimanto hal tersebut akan menegaskan sistem ketenagakerjaan yang digunakan.

Usulan Perubahan
Pada akhir 2011 lalu, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sempat memaparkan hasil kajian UU Ketenagakerjaan pada sidang pleno LKS Tripnas. Kabarnya, hasil kajian LIPI ini yang digunakan pemerintah untuk memasukkan agenda revisi UU Ketenagakerjaan ke dalam Prolegnas prioritas 2012. Namun DPR menolak rencana revisi itu karena dianggap tidak berpihak kepada pekerja.

Anggota Tim Peniliti LIPI yang ikut mengkaji revisi UU Ketenagakerjaan, Tuti Handayani mengaku bingung dengan penolakan DPR itu. Pasalnya, LIPI dan para pemangku kepentingan masih membahas draf revisi tersebut. “Dan drafnya belum dikasih ke DPR,” ujar Tuti kepada hukumonline di gedung LIPI Jakarta, Selasa (24/4).

Walau revisi UU Ketenagakerjaan ditolak DPR, LIPI berjanji tetap mengawal upaya revisi UU Ketenagakerjaan. Tujuannya agar hasil revisi tidak melenceng jauh dari hasil penelitian yang sudah dilakukan. LIPI pun akan membuat lebih detail kajian atas revisi UU Ketenagakerjaan yang ditargetkan selesai akhir tahun ini.

Sebelumnya LIPI mengkaji telah enam aspek. Yaitu mengenai tenaga kerja asing (TKA); hubungan kerja terkait sistem kontrak kerja dan outsourcing; istirahat panjang; pengupahan; mogok kerja; PHK dan kompensasinya.

Mengenai TKA, LIPI menilai perlu penegasan definisi dalam undang-undang. Sementara mengenai standar kompetensi, standar kualifikasi pemberi kerja dan lainnya diatur lebih lanjut dalam Keppres atau Kepmen. Serta perlu ditambahkan pasal tentang sanksi dalam UU maupun peraturan turunannya.

Tentang sistem kontrak kerja dan outsourcing, LIPI berpendapat hal itu tetap dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan usaha. Tapi pelaksanaannya harus menjamin pemenuhan hak dan perlindungan pekerja. Kalau perlu, upah pekerja kontrak harus lebih tinggi ketimbang pekerja tetap. Selain itu LIPI juga berpendapat agar pekerja kontrak didorong untuk menggunakan hak berserikat.

Terkait istirahat panjang, LIPI mengusulkan agar pelaksanaannya harus ditetapkan kriteria perusahaan sebagai dasar. Misalnya sifat pekerjaan, skala perusahaan, atau resiko pekerjaan. Setelah hal itu dipenuhi maka law enforcement dibutuhkan pada pelaksanaan istirahat panjang.

M
engenai pengupahan LIPI menganggap penetapan upah minimum cukup memperhatikan komponen KHL dan pertumbuhan ekonomi. Namun LIPI menyarankan penetapan upah minimum cukup di tingkat provinsi dan tidak dipilah lagi berdasarkan sektor. Keuntungannya dapat mengurangi gap upah minimum antar kabupaten/kota dan sektor. Serta menghindari kerumitan penghitungan, politisasi dan efisiensi birokrasi.

Untuk isu mogok kerja, LIPI memandang perlu dilakukan tinjauan ulang terhadap pengertian mogok kerja agar tidak menimbulkan kerancuan dengan unjuk rasa.

Yang tak kalah penting adalah mengenai kompensasi pemutusan hubungan kerja (PHK). LIPI berpandangan penggunaan kata ‘paling sedikit’ harus dihindari dalam upaya penyempurnaan UU Ketenagakerjaan. LIPI melihat terdapat perbedaan persepsi tentang uang pesangon antara pihak pekerja dan pengusaha. Hal ini menyebabkan besaran (pengalian) pesangon terus diperdebatkan. Menurut LIPI, untuk memenuhi rasa keadilan, pekerja yang di PHK karena pelanggaran, mendapatkan kompensasi yang lebih kecil.

Pemerintah melalui LKS Tripnas boleh berencana terus menggunakan kajian LIPI untuk menyelesaikan revisi UU Ketenagakerjaan. Namun baik pekerja dan pengusaha tak mendukung hal itu.

Djimanto mewakili Apindo misalnya yang menyayangkan tak ada pengaturan komperehensif seperti yang dia harapkan dari draf yang dibentuk LIPI. Dalam draf itu dia hanya melihat perubahan-perubahan ketentuan yang ada di UU Ketenagakerjaan tanpa mengatur aspek lain seperti nelayan, tani sektor pekerjaan lain.

Walau begitu, yang terpenting bagi Djimanto adalah bagaimana UU Ketenagakerjaan tidak menggerogoti kelangsungan usaha para pengusaha. Dia menginginkan agar ketentuan yang ada di UU Ketenagakerjaan tidak membuat geliat usaha menjadi rapuh.

Sejumlah ketentuan itu misalnya terbatasinya hak pengusaha untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Karena dalam UU Ketenagakerjaan, pengusaha tidak dibebaskan untuk mem-PHK, tapi harus melalui keputusan pengadilan dan tingginya angka kompensasi PHK. Oleh karenanya apapun bentuk revisinya Djimanto menyebut hal yang penting adalah terciptanya kelangsungan usaha yang kondusif.

Sementara dari kalangan buruh, Sahat Butar-Butar yang juga anggota LKS Tripnas menilai draf revisi UU Ketenagakerjaan yang merupakan hasil kajian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sifatnya hanya tambal sulam. Karena itu ia berharap pemerintah lebih memilih opsi mengganti UU Ketenagakerjaan.

Sementara Indra Munaswar mengatakan hal yang lebih penting di samping revisi UU Ketenagakerjaan adalah penegakan hukum ketenagakerjaan. Dia melihat pengawas ketenagakerjan tidak mampu menegakan peraturan perundang-undangan terkait ketenagakerjaan.

Suara senada datang dari Ketua Komisi IX DPR, Ribka Tjiptaning yang melihat permasalahan yang ada berpangkal pada lemahnya pengawas ketenagakerjaan. Atas dasar itu Ribka menganggap penolakan pihak pekerja ketika pemerintah ingin merevisi UU Ketenagakerjaan cukup beralasan.

Walau begitu Ribka tidak menampik ada sejumlah ketentuan yang salah dalam UU Ketenagakerjaan, misalnya terkait pekerja kontrak atau outsourcing. Karena dalam praktik Ribka melihat banyak jenis pekerjaan yang seharusnya tidak di-outsorcing tapi hal itu dilakukan. Lagi-lagi lemahnya pengawasan yang dilakukan dinas tenaga kerja menjadi penyebab terjadinya banyak pelanggaran pelaksanaan UU Ketenagakerjaan.

Kalaupun harus ada revisi UU Ketenagakerjaan Ribka menilai harus ada persiapan yang matang, khususnya dari pihak pekerja karena proses pembentukan UU di DPR sangat pelik. Ribka juga berpendapat proses revisi UU Ketenagakerjaan akan menimbulkan polemik karena kepentingan antara pekerja dan pengusaha sulit mencapai titik yang ideal.

“Apalagi sistemnya kapitalisme, susah, nggak bakalan ketemu. Buruh menuntut sekedar kesejahteraan, pengusaha maunya untung besar dengan modal kecil. Itu yang tidak pernah clear,” pungkasnya.

Tags: