Ahli Hukum Kritik RUU Kesetaraan Gender
Utama

Ahli Hukum Kritik RUU Kesetaraan Gender

Karena menggunakan istilah asing di bagian judul RUU.

Ali Salmande
Bacaan 2 Menit
Ahli Hukum kritik RUU Kesetaraan Gender. Foto: ilustrasi (Sgp)
Ahli Hukum kritik RUU Kesetaraan Gender. Foto: ilustrasi (Sgp)

Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG) masih menimbulkan perdebatan. Ada yang menolak mentah-mentah RUU ini, ada juga yang setuju pengaturannya meski perlu ada beberapa perbaikan. Komisi VIII DPR pun kembali mengundang beberapa elemen masyarakat untuk menyampaikan pandangannya.

Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) adalahsalah satu elemen masyarakat yang tegas menolak RUU ini. Selain mendasarkan pada argumen bahwa gender bertentangan dengan ajaran Islam, MIUMI juga menyampaikan pandangan hukumnya mengenai RUU ini yang dinilai bertentangan dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan.

Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Arovah Windiani, yang menjadi salah satu anggota tim pakar MIUMI, mencatat beberapa hal. Pertama, landasan filosofis RUU ini yang dianggap tak mengacu kepada Pancasila. “RUU ini menyatakan kesetaraan, sedangkan asas yang dikenal oleh Pancasila itu adalah keadilan. Itu berbeda,” ujarnya di ruang rapat Komisi VIII, Senin (18/6).

Kedua, Arovah menyebut bahwa ‘jenis kelamin’ undang-undang ini tak jelas apakah mengatur hukum publik atau privat. Padahal, menurutnya suatu undang-undang harus terklasifikasi antara menjadi undang-undang yang bersifat publik atau  privat.

Ketiga, Arovah berpendapat UU No. 12 Tahun 2011 secara tegas mengatur bagaimana menggunakan istilah asing dalam sebuah undang-undang. Ia mengatakan berdasarkan undang-undang itu, istilah asing tak bisa dijadikan sebagai judul sebuah undang-undang. “Istilah asing hanya bisa digunakan dalam penjelasan,” ujarnya.

Lampiran UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Angka 254 secara tegas menyebutkan ‘Penggunaan kata, frasa, atau istilah bahasa asing hanya digunakan di dalam penjelasan peraturan perundang-undangan. Kata, frasa, atau istilah bahasa asing itu didahului oleh padanannya dalam Bahasa Indonesia, ditulis miring, dan diletakan di antara tanda baca kurung ()’.

Arovah berpendapat istilah gender bukan bahasa Indonesia karena belum diatur ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). “Gender bukan bahasa Indonesia,” ujarnya.

Berdasarkan penelusuran hukumonline di situs KBBI Online Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, istilah gender berbeda dengan yang dimaksud dalam undang-undang ini. Gender adalah gamelan jawa yang dibuat dari bilah-bilah logam berjumlah empat belas buah dengan penggema dari bambu.

Di KBBI online itu hanya satu istilah gender. Namun, bila merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat yang diterbitkan pada 2008 oleh Depdiknas maka istilah gender juga bisa berarti ‘jenis kelamin’. Artinya, gender sudah diserap menjadi bahasa Indonesia.

Sementara, Women Research Institute (WRI) menghargai dan mendukung upaya kebijakan kesetaraan dan keadilan gender. WRI berharap kebijakan ini diharapkan menjadi rujukan peraturan perundang-undangan lainnya. WRI berharap RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender ini dapat dijadikan sebagai undang-undang payung.

Tak Resmi
Pimpinan Rapat Wakil Ketua Komisi VIII Chairu Nisa mengatakan masih menampung semua usulan dan pandangan semua pihak. Ia juga meluruskan isu yang beredar di masyarakat bahwa belum ada draf RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender yang secara resmi dikeluarkan oleh Komisi VIII. “Belum ada draf resminya. Kami belum bahas,” ujarnya.

Chairu Nisa mengatakan draf yang beredar di masyarakat itu adalah karya Deputi Bidang Perundang-Undangan Sekretaris Jenderal DPR. Ia mengatakan bila RUU ini ingin dijadikan hak inisiatif secara resmi oleh DPR maka akan dibahas RUU-nya di Badan Legislasi. Lalu, disahkan dan diresmikan sebagai RUU inisitiatif DPR. Setelah itu, baru RUU dibahas oleh DPR dan Pemerintah.

“Jadi, prosesnya masih panjang,” ujarnya.

Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia (Kowani) Dewi Motik terkejut dan bingung dengan penjelasan pimpinan DPR ini. Ia mengaku bingung mengapa RUU yang dikatakan bukan RUU resmi Komisi VIII itu bisa beredar di masyarakat. “Saya bingung. Makanya ini agak aneh. Agak ajaib kalau Komisi VIII bisa tak tahu menahu,” ujarnya.

“Kami sedih sekali bila DPR tak tahu menahu tersebarnya RUU ini. Bagaimana bisa kecolongan. Saya sudah baca RUU ini sudah lama,” pungkasnya. 

Tags: