KPK Cari Metode 'Pemiskinan' Koruptor
Berita

KPK Cari Metode 'Pemiskinan' Koruptor

Tujuannya agar ada efek jera terhadap para koruptor.

fat
Bacaan 2 Menit
Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto (tengah). Foto: Sgp
Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto (tengah). Foto: Sgp

Nasib para koruptor akan semakin ‘apes’ di Indonesia. Pasalnya, para koruptor tidak hanya akan diancam dengan hukuman badan, tetapi juga hukuman yang bersifat materi yang berat. UU Pemberantasan Tipikor yang berlaku memang sudah mengatur dua jenis hukuman yang bersifat materi yakni denda dan uang pengganti.

Tetapi, dua jenis hukuman itu ternyata tidak cukup. KPK masih mempertimbangkan jenis hukuman tambahan yakni membebankan dampak kerusakan tindak pidana korupsi kepada pelakunya. Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengatakan dampak kerusakan yang biasa disebut implicit opportunity cost perlu dibebankan kepada koruptor agar menimbulkan efek jera.

Sebagai contoh, Bambang menyebut tindak pidana korupsi di sektor kehutanan. Dampak dari kerusakan hutan yang dikorupsi ini bisa dihitung untuk kemudian dibebankan kepada pelaku korupsi tersebut. Menurutnya, di negara-negara maju, penghitungan dampak kerusakan dari tindakan korupsi sudah lazim diterapkan.

Contoh lain, korupsi di sektor pajak. Tindak pidana korupsi, kata Bambang, dapat menimbulkan kerugian di sektor pajak yang seharusnya menjadi salah satu sumber penerimaan negara. Untuk menghitung nilai dampaknya, lanjut Bambang, perlu melibatkan ahli ekonomi.

“KPK akan buat model bagaimana hitung biaya sosial korupsi per sektor. Dengan begitu, koruptor bisa dimiskinkan, makanya metodologinya harus dicari,” ujar Bambang di kantornya, Kamis (26/7).

Bambang berharap bentuk penghukuman berdasarkan dampak kerusakan korupsi dapat dimasukkan dalam rancangan KUHP. Pengaturan hal ini, lanjut Bambang, bisa dicantumkan pada bagian buku pertama KUHP.

“Sedang ada revisi KUHP, buku pertama. Dalam pasal 10 sampai pasal 20. Ada disebut hukuman pokok dan tambahan. Sampai sekarang buku ke-I ini belum selesai. Kami mohon komisi III bahas prioritaskan soal hukuman, hukuman badan dan hukuman denda. Kualifikasi seperti ini mudah-mudahan bisa masuk,” tutur Bambang.

Libatkan Ahli
Dalam rangka mencari formula penghukuman koruptor berdasarkan dampak kerusakan yang disebabkan oleh tindak pidana korupsi, KPK mengundang sejumlah ahli. Mereka antara lain ahli hukum pidana dari UI Ganjar Laksmana Bonaprapta, ahli antropologi Aris Arif Mundayat, ahli kriminal ekonomi Rimawan Pradityo dan sosiolog Iwan Gardono Sudjatmiko.

Iwan mengatakan, sejumlah negara-negara maju sudah banyak yang menerapkan penghukuman berdasarkan dampak kerusakan korupsi ini. Menurutnya, dengan adanya penghitungan ini pengembalian uang yang dikorupsi ke negara dapat lebih maksimal. “Nantinya ini harus dibebankan kepada koruptor. Ada ekonom, ahli antropolog, ahli sosiologi dan ahli hukum melakukan kerjasama dalam perhitungan biaya sosial korupsi,” katanya.

Sementara itu, Ganjar Laksmana Bonaprapta mengatakan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku korupsi harus dikaji lagi. Terlebih dengan adanya penghitungan biaya sosial korupsi. Namun begitu, ia sepakat bahwa membebankan dampak kerusakan korupsi kepada pelakunya dapat menimbulkan efek jera.

Menurut Ganjar, apa yang tengah dirumuskan KPK bersama para ahli sejalan dengan materi RUU perubahan atas UU Pemberantasan Tipikor. Ganjar menyebut Pasal 25 ayat (2) huruf c yang menyatakan bahwa akan ada hukuman tambahan sebagai bentuk pemulihan akibat terjadinya sebuah tindak pidana korupsi.

“Ini runutan sama dengan langkah sosial. Pendekatan doktrin, ilmiah dan praktis, serta praktik-praktik di negara lain juga dilihat,” kata Ganjar.

Tags: