Melihat Hukum Bukan Hanya Dari Teks
Resensi

Melihat Hukum Bukan Hanya Dari Teks

Enam belas tokoh nasional menulis keprihatinan sekaligus harapan mereka terhadap hukum nasional.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Buku Dialektika Pembaruan Sistem Hukum Indonesia. Foto: Sgp
Buku Dialektika Pembaruan Sistem Hukum Indonesia. Foto: Sgp

Mengembangkan hukum nasional adalah pekerjaan rumah besar bagi seluruh komponen bangsa selama puluhan tahun, sejak kemerdekaan hingga sekarang. Ia pekerjaan rumah hingga kini belum selesai.

Alih-alih mengembangkan, menjadikan identitas hukum nasional sepenuhnya saja kita belum berhasil. Hukum warisan kolonial masih menghantui, beberapa diantaranya tak sejalan dengan iklim demokrasi dan rule of law. Sekadar contoh, urusan terjemahan resmi KUH Pidana dan KUH Perdata saja kita terabaikan meskipun kedua kitab hukum itu sudah diakui lebih dari 66 tahun.

Prof. J.E. Sahetapy memprihatinkan itu seraya berharap agar pembentuk hukum tak melupakan pijakan utama kita: Pancasila (hal. 117-118). Pancasila adalah sumber hukum nasional.

Sahetapy hanya salah seorang dari 16 tokoh yang mengguratkan pemikiran, pandangan, berupa keprihatinan dan harapan, dalam buku Dialektika Pembaruan Sistem Hukum Indonesia. Buku ini segaja diterbitkan dalam rangka memperingati milad Komisi Yudisial Republik Indonesia pada Agustus 2012 lalu.

Keprihatinan Sahetapy sejalan dengan pertanyaan Prof. Soetandyo Wignjosoebroto. Guru Besar (emeritus) Fakultas Hukum Universitas Airlangga ini langsung mengajukan sebuah tanya: kalau hukum tak kunjung tegak, apa yang salah dengan penegakan hukum di negeri ini? Menurut Soetandyo, melihat hukum tak bisa pada teks semata. Kita juga harus masuk pada wilayah konteks. Suatu kekeliruan apabila upaya mengefektifkan bekerjanya hukum, orang hanya berkonsentrasi pada amandemen peraturan, tanpa membenahi struktur sosial (hal. 3-4).

Demi kebutuhan konseptual, hukum Indonesia disesuaikan dengan pemikiran Lawrence Friedman tentang sistem hukum: yaitu struktur hukum, substansi,  dan budaya hukum. GBHN dan RPJM bidang hukum nyaris selalu mengikuti penulis buku The Legal System: a Social Science Perspective (1975) itu. Inilah yang sering dikritik Prof. Jimly Asshiddiqie (hal. 22), karena terlalu menyederhanakan sistem hukum itu sendiri. Cara pandang baru melihat Sistem Hukum Nasional Indonesia sudah dibutuhkan. Perkembangan teknologi informasi terbukti sudah mempengaruhi perkembangan hukum. Oleh karena itu, Prof. Jimly berpendapat informasi dan komunikasi serta sumber daya manusia bidang hukum adalah bagian tak terpisahkan dari sistem hukum (hal. 37-28).

Buku ini juga menyajikan tulisan menarik dari tokoh berlatar belakang berbeda. Respon lembaga-lembaga hukum dan harmonisasi perundang-undangan ditulis dua birokrat Kementerian Hukum dan HAM, yakni Kepala BPHN Wicipto Setiadi dan Dirjen Perundang-Undangan Wahiduddin Adams.

Tags: