Trademark Squatting, Bertumbuh di Indonesia
Berita

Trademark Squatting, Bertumbuh di Indonesia

Uang adalah motivasi dari praktik jual beli merek dagang

HRS
Bacaan 2 Menit
<i>Trademark Squatting</i>, Bertumbuh di Indonesia
Hukumonline

UU No.15 Tahun 2001 tentang Merek menganut asas first to file. Ditegaskan dalam undang-undang tersebut pendaftar merek dagang pertama adalah pemegang hak ekslusif. Sebagai pemegang hak ekslusif, pemegang hak dapat menggunakan sendiri atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakan merek dagangnya.

Terhadap pendaftar merek dagang pertama, negara juga memberikan perlindungan dari pencatut yang merugikan pemegang merek terdaftar. Perlindungan yang diberikan negara dalam bentuk pelarangan mendaftarkan merek yang memiliki persamaan pada pokoknya. Atau, persamaan keseluruhan dengan merek yang telah terdaftar.

Jika terdapat persamaan, Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (DJHKI) wajib menolak pendaftaran merek tersebut, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.

Namun, asas ini menurut pemantauan hukumonline malah dijadikan ladang bisnis. Praktiknya, sering ditemukan adanya pihak-pihak tertentu yang patut diduga kuat mendaftarkan merek tertentu dengan maksud memperdagangkan kembali merek-merek tersebut.

“Mendaftarkan merek, tapi niatnya itu untuk menjual merek itu kepada merek sebenarnya. Dan itu ada terjadi, meskipun tidak banyak,” ujar pakar HKI Gunawan Suryomucitro kepada hukumonline, Selasa (5/2).

Biasanya, para pelaku akan mencatut merek luar negeri. Pelaku yang bekerja di bidang usaha tertentu telah mengetahui suatu merek tersebut adalah merek terkenal atau tidak meskipun barang tersebut tidak beredar di Indonesia.

Senada dengan Gunawan, konsultan HKI yang lama berkecimpung di bidang litigasi, Riyo Hanggoro Prasetyo juga mengakui fenomena ini. Perbuatan seperti ini dalam dunia internasional dikenal dengan istilahtrademark squatting atau mafia merek.

Tags: