Liberalisasi Perdagangan Tak Mendukung Swasembada Pangan
Berita

Liberalisasi Perdagangan Tak Mendukung Swasembada Pangan

Kebijakan WTO masih mengizinkan untuk memberlakukan bea masuk dan tarif produk pangan maksimal 40 persen.

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
Liberalisasi Perdagangan Tak Mendukung Swasembada Pangan
Hukumonline

Beberapa kebijakan perdagangan dalam era globalisasi ternyata mengesampingkan kepentingan petani nasional. Padahal, sebagai salah satu sektor pembangun perekonomian nasional, hasil bercocok tanam petani juga menentukan keberhasilan program pemerintah dalam swasembada pangan.

Liberalisasi perdagangan akan mempermudah masuknya produk impor ke Indonesia melalui beberapa perjanjian dan kerjasama antar negara. Sebut saja ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) dan ASEAN Economic Community yang akan beroperasi mulai 2015. Implementasi kedua perjanjian ini diyakini bisa mematikan produksi dalam negeri. Pasar domestik dibanjiri oleh produk asing yang harganya jauh lebih murah ketimbang produk pangan yang dihasilkan petani Tanah Air. Bahkan dari perjanjian tersebut, semua produk dari negara yang tergabung di dalam ACFTA dan AEC dibebaskan bea masuk dan tarif.

Menurut Ketua Harian Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Sutrisno Iwantono, kebijakan tersebut tidak mendukung program swasembada pemerintah. Pasalnya, penawaran harga bahan pangan impor jauh lebih murah ketimbang produk dalam negeri. Akibatnya, petani tidak menikmati untung dan enggan bercocok tanam karena tak mendapatkan perlindungan dari Pemerintah di tengah maraknya liberalisasi perdagangan.

“Harus dikenakan bea masuk dan tarif sehingga harga impor lebih tinggi daripada harga yang ditawarkan petani. Dan pastinya ini menguntungkan petani kita,” kata Sutrisno dalam sebuah diskusi di Jakarta, Senin (25/3).

Sutrisno menyayangkan sikap pemerintah yang terkesan tunduk terhadap China. Ia menilai, perjanjian tersebut dibuat berdasarkan kepentingan China sementara merugikan petani dalam negeri. Lagipula, lanjutnya, World Trade Organization (WTO) masih memberikan peluang kepada setiap negara anggota untuk  mengenakan bea masuk maksimal 40 persen untuk sektor pangan.

Selain itu, guna mendukung program swasembada pangan yang dicanangkan Pemerintah, bea masuk dan tarif impor bahan pangan sebaiknya dikembalikan lagi ke petani. Caranya, memberikan pupuk yang baik, bibit yang berkualitas dan menerbitkan kebijakan yang melindungi petani dalam negeri. “Dikenakan bea masuk dan jangan takut dengan ACFTA karena WTO saja mengizinkan itu,” ujarnya.

Kebijakan bea masuk nol persen ini, dimafaatkan para importir untuk memonopoli pasar. Para importir bisa mengatur pasar karena mendapatkan impor bahan pangan dengan harga yang lebih rendah dan menyimpannya pada gudang-gudang yang tidak pernah didata oleh pemerintah.

Tags:

Berita Terkait