Tokoh Lintas Agama Kritik Liberalisasi Perdagangan
Berita

Tokoh Lintas Agama Kritik Liberalisasi Perdagangan

Masih perlu kajian mendalam untuk menjadikan sistem ekonomi syariah menjadi hukum positif.

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
Tokoh Lintas Agama Kritik Liberalisasi Perdagangan
Hukumonline

Arus globalisasi ternyata tak seluruhnya membawa kebaikan buat bangsa Indonesia. Sejak globalisasi dimulai, liberalisasi pun ikut masuk ke sistem perekonomian Indonesia. Beberapa kebijakan pemerintah di bidang perdagangan, misalnya, acapkali menuai kritik karena berbau neo-liberalisme. Semangat RUU Perdagangan patut disorot.

Kalau datang dari ekonom atau praktisi, kritik sudah biasa. Kali ini, kritik berasal dari tokoh agama. Sejumlah tokoh lintas agama menilai sistem liberalisasi perdagangan yang dikeluarkan melalui kebijakan-kebijakan WTO tidak sejalan dengan nilai-nilai agama. Pasalnya, liberalisasi perdagangan akan menggilas rakyat kecil dan menguntungkan kaum kapital. Akibatnya, tidak ada keadilan yang diperoleh oleh rakyat kecil selaku bagian dari bangsa Indonesia.

Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia, Pdt. Gomar Gultom berpendapat, Indonesia harus segera memiliki alternatif sistem perdagangan di Indonesia. Salah satu alternatif yang bisa diambil adalah mengacu kepada sistem ekonomi syariah. "Kita bisa ambil sistem ekonomi syariah," kata Gultom pada sebuah diskusi di Jakarta, Senin (11/3).

Namun ia mengingatkan, jika pemerintah berkeinginan kuat untuk membentuk sistem ekonomi syariah, maka sistem tersebut harus dipastikan bebas dari embel-embel keagamaan. Artinya, sistem ekonomi syariah diharapkan dapat menjadi pedoman perekonomian Indonesia guna mensejahterakan seluruh rakyat.

Untuk itu, pemerintah selaku pemangku kebijakan harus membentuk suatu landasan hukum positif yang netral tanpa membawa nama agama. Menurutnya, landasan hukum tersebut penting jika sistem ekonomi syariah akan diserap menjadi sistem perekonomian nasional, dimana sistem perdagangan juga harus mengacu ke sana.

Peneliti Nurcholis Madjid Society, Okky Tirto, berpendapat senada. Menurutnya, sebagai negara yang memiliki posisi strategis, seharusnya Indonesia memiliki daya tawar yang tinggi. Dengan begitu, sistem apapun yang akan diterapkan di Indonesia tetap mengacu pada asas keadilan, maka akan memberikan kesejahteraan yang merata. "Bisa saja sistem perdagangan syariah dipakai, tetapi harus menjadi hukum positif," katanya.

Okky juga mengingatkan pemerintah untuk konsisten menjalankan sistem ekonomi. Bukan berarti harus menutup diri dari dunia asing, tetapi memberikan proteksi kepada petani, buruh serta industri dalam negeri. Jika tiga hal tersebut tak dilakukan, Okky meyakini tak akan ada perubahan tatanan perekonomian Indonesia.

Direktur Kajian Institut Nagarjuna, Eddy Setiawan, mendukung apapun bentuk sistem ekonomi alternatif yang akan diterapkan di Indonesia. Menurutnya, semua sistem akan berjalan baik jika mementingkan asas keadilan. "Apapun itu sistemnya, mau syariah ataupun sistem yang ditawarkan dari agama lain selagi itu mengedepankan asas keadilan dan menyejahterakan seluruh rakyat tidak jadi masalah," katanya.

Eddy menambahkan perlu kajian yang mendalam sebelum sistem ini digunakan di Indonesia. Pasalnya, apa yang ditawarkan oleh sistem syariah harus jelas sebelum membuatnya menjadi sebuah hukum positif. Berdasarkan catatan hukumonline kini sudah banyak regulasi yang menjamin berkembangnya ekonomi syariah.

Tags:

Berita Terkait