Indonesia Kekurangan Ahli Hukum Islam
Berita

Indonesia Kekurangan Ahli Hukum Islam

Implementasi hukum Islam perlu dikontekstualisasi.

M-14
Bacaan 2 Menit
Indonesia Kekurangan Ahli Hukum Islam
Hukumonline

Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, Din Syamsuddin, mengatakan Indonesia kekurangan ahli hukum Islam yang bisa mengkontekstualisasi hukum dengan kondisi riil saat ini. Terutama mengkontekstualisasi hukum Islam dengan kondisi masyarakat Indonesia yang majemuk.

Din Syamsuddin menyampaikan pandangan itu saat memberikan kuliah umum di The 3rd Islamic Law National Summit 2013di Depok, Senin (25/2).  Acara yang mengangkat tema “Implementasi Hukum Islam dalam Konteks Multikulturalisme untuk Menyelesaikan Masalah Bangsa”  ini diselenggarakan oleh LDF Serambi FHUI.

Raihanan Abdullah, profesor kajian Islam di University of Malaya, mengatakan multikulturalisme merupakan suatu keniscayaan yang harus diterima di era global saat ini. Multikulturalisme seperti sekarang bisa terbentuk karena migrasi, ekonomi, sosial atau politik. Hampir semua negara di dunia ini menjadi negara yang multikultural. Hal ini memaksa setiap orang memiliki toleransi yang tinggi. Begitu pula penerapan hukum Islam dalam masyarakat yang plural.

Kedua tokoh Islam itu menyoroti pentingnya para ahli hukum Islam memberikan pemahaman yang benar tentang multikulturalisme dan sikap toleransi yang harus dikembangkan. Toleransi, kata Raihanah, harus disertai pemahaman umat terhadap Islam, sekaligus memegang prinsip-prinsip dasar Islam. Pemahaman terhadap konsep multikulturalisme membawa ahli hukum Islam pada upaya kontekstualisasi. “Hal ini diperlukan agar mengkontekskan hukum Islam dengan kemajemukan saat ini,”ujarnya.

Menurut Raihanah, toleransi bukan hanya harus dimiliki oleh mayoritas tetapi juga oleh golongan minoritas. Raihanah mencontohkan kehidupan muslim minoritas di India ketika merayakan Idul Adha. Dalam rangka memenuhi syariat umat muslim, India menyembelih hewan Qurban yaitu sapi. Sapi dianggap suci dan sakral bagi umat Hindu. “Muslim India cukup bijak dengan menyembelih kambing untuk menghormati pemeluk agama Hindu. Tetapi mereka tetap menjalankan ibadah sesuai syariat.” tandasnya.

Din Syamsuddin berpendapat kemajemukan adalah sunnatullah. Banyak sekali ayat Al-Qur’an yang menjelaskan bahwa manusia diciptakan berbeda-beda, berbangsa-bangsa. “Tidak mungkin Islam menolak kemajemukan” tegas Din.

Ia menambahkan hukum Islam merupakan hukum yang memberikan kelapangan jika ia tidak disempitkan semata pada persoalan syariah dan bila umat Islam juga memerhatikan faktor-faktor lain seperti ekonomi sosial-budaya. “Jadi harus paham penerapan hukum dan konteks masyarakat,” tambah Din.

“Islam hadir bukan dalam ruang hampa tapi hadir dalam konteks masyarakat, karena itu hukum Islam bukan hukum yang statis,” papar Din. Din bercerita mengenai Imam Syafi’ie yang memiliki dua pendapat, yakni pendapat lama dan pendapat baru setelah melihat konteks masyarakatnya. “Jika Imam Syafi’ie hidup di zaman sekarang mungkin beliau akan mengeluarkan pendapat baru lagi, ujar Din.

Namun, Din menekankan jangan sampai fleksibiltas hukum Islam ini dijadikan pembenaran atas keinginan manusia dan jangan sampai menempatkan Al-Qur’an dan Al-Hadist di tempat kedua dan ketiga setelah toleransi seperti yang dilakukan oleh Jaringan Islam Liberal saat ini. “Prinsipnya tetap lakum dinukum waliyadin, agamamu adalah agamamu, agamaku adalah agamaku,” papar Din.

Tags: