Negara Gagal Membina Narapidana
Berita

Negara Gagal Membina Narapidana

Manajemen dan pelayanan Lapas harus diperbaiki.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Negara Gagal Membina Narapidana
Hukumonline

Pemerintah perlu menata ulang kebijakan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Apa yang terjadi di Lapas Tanjung Gusta Medan memperlihatkan ketidakmampuan negara memberikan pelayanan dan membina narapidana. Perlakuan aparat yang tidak manusiawi, tidak tercukupinya kebutuhan dasar seperti listrik dan air, serta overcapacity menyebabkan tujuan pemidanaan sulit dicapai.

Demikian rangkuman pendapat yang mengemuka dalam sebuah diskusi di gedung MPR, Jakarta, Senin (22/7). Wakil Ketua MPR, Ahmad Farhan Hamid, mengatakan kerusuhan di Lapas Tanjung Gusta adalah puncak gunung es beragam masalah pelayanan Lapas di Indonesia.  “Puncaknya di Tanjung Gusta,” ujarnya.

Anggota Komisi III DPR Deding Ishak berharap insiden Tanjung Gusta dijadikan momentum untuk menata pelayanan dan pembinaan narapidana. Terutama sekali memperbaiki manajemen Lapas di bawah kendali Kementerian Hukum dan HAM.

Deding berpendapat, Lapas harus dijadikan sebagai tempat yang manusiawi. Meskipun penghuninya adalah orang-orang yang melanggar hukum, perlakuan aparat terhadap mereka tetap harus manusiawi. Termasuk dalam hal pengisian ruang tahanan yang selama ini cenderung melebihi daya muat. Ruangan 6X4 meter mestinya ditempati 10 orang, tetapi faktanya bisa dihuni 20 orang. Lapas, Deding melanjutkan, adalah representasi negara yang berkewajiban memberikan pelayanan.

Aspek pelayanan itu pula yang mendapat sorotan Ombudsman Perwakilan Sumatera Utara. Pelaksana Tugas Kepala Perwakilan Ombudsman, Dedy Irsan, dan tim telah mendatangi langsung Lapas Tanjung Gusta dan mewawancarai sejumlah tahanan pasca kerusuhan. Hasilnya, pelayanan listrik dan air yang tidak baik memantik kerusuhan, plus kekhawatiran semakin sulitnya mendapatkan remisi.

Pengamat masalah ketatanegaraan, Irman Putra Sidin,berpendapat semakin negara membangun banyak Lapas, membuktikan negara gagal melakukan pembinaan terhadap masyarakat. Semakin banyak orang yang dijebloskan ke penjara, secara perlahan membuat seseorang membenci negara. “Semakin banyak negara membangun Lapas, membuktikan negara semakin gagal,” ujarnya.

Dosen Hukum Tata Negara Universitas Indonusa Esa Unggul itu menegaskan, keberadaan penjara awalnya sebagai tempat penghukuman. Akibatnya tidak jarang narapidana kerap mendapat perlakukan yang tidak manusiawi. Namun sejak diubahnya menjadi Lapas, setidaknya diharapkan perlakuan menjadi lebih manusiawi. Pasalnya, kata Irman, Lapas menjadi tempat pembinaan.

Ia berpendapat, Peraturan Pemerintah (PP) No.99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatantidak rasional. Sebab, mendapatkan remisi menjadi hak setiap narapidana sebagaimana hak asasi lainnya.

Irmanputra mengusulkan sebaiknya narapidana yang berkelakuan baik sebelum selesai menjalani masa hukumannya dikeluarkan lebih cepat. “Misalnya orang divonis 10 tahun, tapi ternyata sudah melewati masa 5 tahun ternyata sehat dan berkelakuan baik, yasudah dikeluarkan saja. Sehingga Lapas tidak over kapasitas,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait