Pajak Ganda untuk Tekan Peredaran Rokok
Berita

Pajak Ganda untuk Tekan Peredaran Rokok

Ahli dari pemerintah berpendapat hanya harga rokok yang dapat mengontrol peredaran rokok.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Pajak Ganda untuk Tekan Peredaran Rokok
Hukumonline

Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Andalas Hefrizal Handra berpendapat bahwa kebijakan pemerintah menaikkan cukai/pajak terhadap rokok sudah tepat. Sebab, dengan meningkatnya pajak/cukai rokok otomatis akan meningkatkan harga rokok yang akhirnya dapat menghambat laju pertumbuhan permintaan terhadap rokok.

“Sangat sulit menghambat laju konsumsi rokok di Indonesia jika tidak ada tindakan untuk mengontrol peredaran dan pemasarannya. Saat ini, hargalah satu-satunya instrumen yang mempengaruhi laju permintaan. Tambahan pajak apapun yang bisa membuat harga menjadi lebih tinggi sangat diperlukan,” kata Hefrizal yang dihadirkan sebagai ahli dari pihak pemerintah dalam sidang lanjutan pengujian UU PDRD di ruang sidang MK, Kamis (12/9).  

Hefrizal menjelaskan peredaran rokok di Indonesia rokok belum dikontrol. Rokok boleh dijual di mana saja, boleh dibeli oleh siapa saja termasuk oleh anak sekolah dan anak kecil. Rokok juga dapat dibeli dengan eceran atau per batang. Berbeda di negara maju, rokok diperlakukan seperti minuman beralkohol yang hanya dapat dijual di tempat-tempat yang diizinkan, tidak bisa dibeli secara eceran dan hanya dibeli oleh orang dewasa.

Dia membandingkan kondisi ini dengan negara maju. Indonesia adalah surga bagi perokok dan pengusaha rokok karena harga rokok jauh sangat rendah dibandingkan dengan negara maju. “Misalnya, harga per bungkus rokok di Indonesia pada tahun 2010 adalah Rp11.500. Sementara di Selandia Baru Rp221.153 dan pada tahun 2020 naik menjadi Rp 960.000,” ujar pria yang tercatat sebagai ketua jurusan Ilmu Ekonomi FE Universitas Andalas.  

Selain itu, peningkatan pajak/cukai rokok di Indonesia juga bertujuan untuk memperbaiki kesehatan masyarakat yang berujung pada peningkatan produktifitas dan kesejahteraan masyarakat. Dia melihat, perokok itu harus orang kaya. Orang miskin mestinya tidak merokok karena tidak mampu membeli. Karenanya, perokok harus mampu membayar harga yang mahal termasuk pajak/cukai yang tinggi sebagai konpensasi terhadap dampak sosial ekonomi yang ditimbulkannya. 

Ahli ekonomi publik ini menambahkan, penetapan pajak rokok sebagai pajak daerah yang menumbuhkan tarif cukai dapat dipandang dapat meningkatkan kemampuan daerah dalam menyediakan layanan publik, khususnya pelayanan kesehatan. Karenanya, alasan untuk membatalkan pajak rokok sangat lemah jika hanya dikaitkan dengan kepentingan pribadi perokok.

“Kepentingan masyarakat banyak jauh lebih penting dari kepentingan perokok. Pajak rokok itu tidak cukup hanya 10 persen, harusnya lebih besar lagi untuk menghambat laju konsumsi rokok dalam rangka mencapai kemanfaatan sosial ekonominya yang semakin besar di negeri ini,” tambah dia.

Uji materi sejumlah pasal dalam UU PDRD terkait penegenaan pajak cukai atas rokok itu dimohonkan oleh lima pemerhati HAM. Mereka adalah, Mulyana Wirakusumah (anggota TIM Penyusun RUU HAM), Hendardi (PHBI), Aizzudin (Dewan Pimpinan Kerukunan Tani Indonesia), Neta S Pane (IPW), dan Bambang Isti Nugroho (Pembela Kaum Miskin).

Para pemohon yang mengklaim dirinya sebagai perokok merasa dirugikan hak konstitusionalnya adanya ketentuan pajak ganda atas pajak cukai atas rokok. Sebab, UU No. 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai, juga telah menetapkan cukai rokok sebagai jenis pajak tidak langsung yang dipungut negara atas produk rokok.

Menurut pemohon Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30 UU PDRD yang mengatur beban terhadap cukai rokok yang dikenakan kepada wajib pajak rokok, memicu kenaikan harga rokok begitu tinggi. Hal ini menjadi beban para perokok sebagai pemikul pajak rokok terakhir. Karena itu, para pemohon meminta MK membatalkan pasal-pasal itu karena bertentangan dengan UUD 1945.

Tags: