Liberalisasi Perdagangan APEC Mengkhawatirkan
Utama

Liberalisasi Perdagangan APEC Mengkhawatirkan

MPR seharusnya menegur Pemerintah jika lari dari konstitusi.

Oleh:
FITRI NOVIA HERIANI/ANT
Bacaan 2 Menit
Presiden SBY saat memimpin pembukaan rapat kerja sesi pertama KTT ke-21 APEC di Bali. Foto: www.presidenri.go.id
Presiden SBY saat memimpin pembukaan rapat kerja sesi pertama KTT ke-21 APEC di Bali. Foto: www.presidenri.go.id

Konferensi Tingkat Tinggi Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) di Bali, 1-10 Oktober 2013, tak sepenuhnya disambut positif. Selain biaya penyelenggaraan yang mahal, perhelatan ini dicurigai semakin mengukuhkan semangat liberalisasi perdagangan. Liberalisasi perdagangan dikhawatirkan mengancam sistem ekonomi kerakyatan yang diamanatkan konstitusi.

Direktur Koalisi Anti Utang (KAU), Dani Setiawan, mengecam kesepakatan-kesepakatan liberalisasi perdagangan lewat forum APEC. “KTT APEC ini menjadi ancaman bagi sistem ekonomi kerakyatan,” kata Dani kepada hukumonline, Jumat (04/10).

Dalam pandangan Dani, pertemuan APEC pada dasarnya akan membuat komitmen-komitmen politik untuk memperluas agenda liberalisasi, serta  fasilitasi perdagangan dan investasi di Indonesia. Komitmen-komitmen tersebut akan mendorong pemerintah Indonesia untuk membuka pasar bebas seluas-luasnya. Akibatnya, pasar dalam negeri Indonesia menjadi pasar ekspansi bagi produk impor dari negara-negara anggota APEC.

Bahkan, lanjut Dani, komitmen-komitmen politik yang disepakati dalam  penyelanggaraan KTT APEC nantinya akan diletakkan sebagai dasar pembuatan perjanjian yang lebih mengikat dalam rezim perdagangan multilateral pada Pertemuan Tingkat Menteri WTO, Desember mendatang.

“Menteri keuangan Indonesia ikut berkomitmen untuk melakukan langkah-langkah reformasi kebijakan untuk menghilangkan proteksi ekonomi dan membuka pasar dalam negeri secara bebas,” ungkapnya.

Menko Perekonomian Hatta Rajasa menepis tudingan. Ia berdalih pertemuan APEC juga membahas pembangunan berkelanjutan dan pembangunan yang adil. “Jangan dianggap ini semata-mata liberalisasi perdagangan,” tandasnya.

Dani menyayangkan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tinggal diam atas gejala liberalisasi perdagangan. Sebagai lembaga yang secara aktif mensosialisasikan empat pilar kebangsaan, MPR harusnya mencegah pemerintah membuat kesepakatan-kesepakatan internasional di bidang perdagangan dan investasi. Pasalnya, MPR memiliki fungsi untuk meluruskan arah kebijakan pembangunan pemerintah yang saat ini sudah melenceng dari konstitusi.

Tags:

Berita Terkait