Organisasi Advokat Bukan Tempat Buangan
RUU Advokat:

Organisasi Advokat Bukan Tempat Buangan

Banyak pensiun hakim dan jaksa yang ingin menjadi advokat. Organisasi advokat terkesan organisasi buangan.

Oleh:
HRS
Bacaan 2 Menit
Organisasi Advokat Bukan Tempat Buangan
Hukumonline

Rancangan Undang-Undang Advokat yang tengah digodok di Dewan Perwakilan Rakyat sebentar lagi akan disahkan menjadi undang-undang. Namun, tak ada yang tahu pasti kapan pengesahan dilakukan.

Rupanya, rencana pengesahan rancangan ini masih menyisakan rasa ketidakpuasan di kalangan advokat, khususnya di benak Thomas Tampubolon. Dalam diskusi RUU Advokat menjelang pemilihan Ketua DPC AAI Jakarta Pusat, Jum’at (01/11) lalu, Thomas tegas menyebut penyusunan RUU Advokat dilakukan secara terburu-buru.“Kalau orang Batak bilang, RUU Advokat ini produk hau-hau (produk asal jadi, red),” tutur Thomas.

Thomas menilai UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat lebih bagus ketimbang RUU Advokat. Salah satunya terlihat dari sistem perekrutan anggota organisasi advokat. RUU Advokat memberikan kesempatan kepada organisasi advokat untuk mengangkat sendiri anggotanya. Syaratnya, advokat tersebut harus mengikuti pendidikan khusus profesi advokat (PKPA) dan lulus dari ujian profesi advokat yang diselenggarakan organisasi.

Sekilas, syarat ini cukup menarik. Akan tetapi, klausul tersebut cukup mengerikan karena dapat menyebabkan persaingan tidak sehat. Setiap organisasi akan bersaing dalam menggaet para calon untuk menjadi anggota organisasi. Caranya adalah dengan perang tarif PKPA dan standard kelulusan. Akibatnya, kualitas advokat akan menurun dan pihak yang paling dirugikan adalah para pencari keadilan.

Tidak hanya perang tarif, RUU Advokat juga tidak mengatur batas maksimal usia untuk menjadi advokat. Padahal, jika melongok ke institusi-institusi yang lain, mereka mengatur batas maksimal usia seseorang. Thomas berpandangan batas usia maksimal perlu diatur agar organisasi advokat bisa menjadi organisasi yang berwibawa, bukan organisasi buangan. Pasalnya, ketiadaan batas umur menjadi advokat menyebabkan banyak para pensiunan dari profesi lain dapat “menceburkan” dirinya ke organisasi ini, seperti para pensiunan jenderal, hakim, dan jaksa.

“Organisasi ini bukan organisasi buangan. Jangan jadikan organisasi ini seperti keranjang sampah” tegas Thomas.

Melihat celah tersebut, Thomas merujuk ke Jepang dalam proses perekrutan calon advokat. Di negara Sakura itu, proses perekrutran dilakukan secara satu sistem. Sistem ini terdiri dari tiga institusi, yaitu Kehakiman, Kejaksaan, dan advokat. Setiap orang yang hendak mengikuti tes menjadi hakim, jaksa, atau pengacara harus melewati proses ini. Mereka diminta memilih dari tiga profesi tersebut.

Tags:

Berita Terkait