Menyebarkan ‘Virus Baik’ Bernama Hukum Progresif
Laporan dari Semarang:

Menyebarkan ‘Virus Baik’ Bernama Hukum Progresif

Gagasan almarhum Prof. Satjipto Rahardjo tentang hukum progresif bukan saja masih hidup, tetapi layak diimplementasikan setiap profesi hukum.

Oleh:
MUHAMMAD YASIN
Bacaan 2 Menit
Prof Satjipto Rahardjo. Foto: http://fh.undip.ac.id
Prof Satjipto Rahardjo. Foto: http://fh.undip.ac.id

Aula Ramashinta Hotel Patra Jasa Semarang dipenuhi ratusan orang pada Jum’at (29/11). Mereka berasal dari berbagai latar belakang profesi, mulai dari sivitas akademika fakultas hukum, jaksa, pengacara, pengurus organisasi sipil, hingga hakim dan mantan pejabat negara. Itulah suasana pembukaan Konsorsium Hukum Progresif (KHP) yang diselenggarakan Satjipto Rahardjo Institute.

Ketua Satjipto Rajardjo Institute, Prof. Suteki, mengatakan perhelatan ini digelar bukan sekadar mengenang pemikiran almarhum Prof. Satjipto Rahardjo, tetapi juga mendorong gerakan bersama untuk memberikan sumbangsih pemikiran hukum-hukum baru untuk mengatasi berbagai masalah hukum nasional saat ini. “Saya berharap acara ini menjadi oase di tengah kegersangan ide-ide hukum,” ujarnya saat memberi sambutan.

Hukum progresif adalah sebuah optik filsafat hukum yang digagas mendiang Prof. Satjipto Rahardjo. Dari sebuah artikel yang dipublikasikan pada 2002, gagasan Prof. Tjip tentang hukum progresif terus berkembang laksana virus yang menyebar tanpa kenal batas kampus, usia, dan profesi. “Tapi ini virus yang baik,” kata Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana.

Salah satu yang terkena serangan ‘virus baik’ itu adalah Prof. B. Arief Sidharta. Guru Besar Universitas Parahyangan Bandung ini pernah merasa ‘tertampar’ oleh sebuah tulisan Prof. Tjip. Dalam tulisannya Prof. Tjip menyebut benih-benih hukum progresif sebenarnya pernah tumbuh di Bandung, namun sayang, tak diteruskan murid-murid Prof. Sudiman Kartodirjo. ‘Tamparan’ itulah yang akhirnya mempertemukan Arief Sidharta dengan Prof. Tjip.

Meskipun memulai dari garis start yang berbeda. Prof. B. Arief Sidharta merasa punya kesamaan dengan Prof. Tjip dalam memandang hukum. Prof. Tjip dengan sosiologi hukumnya memulai dari data atau fakta, sedangkan Prof. Arief berasal dari lingkungan normatif alias kaidah-kaidah. Tetapi mereka bertemu pada titik: hukum itu adalah untuk manusia. Hukum dibuat untuk mengabdi pada kepentingan manusia.

Menurut Arief, hukum itu harus berhati nurani. Adil atau tidak adil bisa dirasakan lewat hati nurani. Lalu, implementasi hukum harus selelu kontekstual. Tetapi pemikiran yang paling progresif, menurut dia, adalah mengembangkan hukum berdasarkan Pancasila, sehingga lahirlah filsafat hukum Pancasila. Inilah antara lain pertemuan buah pikiran kedua guru besar. “Saya merasa banyak titik temu dengan Prof. Tjip,” ujarnya saat tampil sebagai pembicara kunci pada acara Konsorsium Hukum Progresif itu.

Tetapi, B. Arief Sidharta mengakui tak semua pemikiran Prof. Tjip dia pahami. Yang masih sulit dipahami, kata dia, adalah konsep rule breaking. Bisa jadi maksudnya adalah menafsirkan aturan-aturan hukum dengan realias, atau sebuah upaya kontekstualisasi hukum. Yang pasti, hukum itu terus hidup. “Sehingga perlu pemikiran-pemikiran progresif untuk disesuaikan dengan realitas masyarakat,” pungkasnya.

‘Virus’ hukum progresif telah menyebar melewati kampus Universitas Diponegoro. Kini, kelompok-kelompok penganut hukum progresif tumbuh. Bahkan di Nusa Tenggara Barat (NTB), ada Serikat Petani Hukum Progresif, dan di Bangka Belitung ada Forum Lingkar Studi Hukum Progresif. Apapun nama kelompok dan latar belakang profesi, ada keinginan besar mengimplementasikan ide hukum progresif ke dalam kehidupan nyata.

Tags:

Berita Terkait