LBH Jakarta Bakal Praperadilankan Polri
Berita

LBH Jakarta Bakal Praperadilankan Polri

Diduga merekayasa kasus.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
LBH Jakarta Bakal Praperadilankan Polri
Hukumonline
Kasus dugaan rekayasa kasus yang berujung pada tindak kekerasan masih terjadi. Setelah korban salah tangkap Hasan Basri oleh Polres Jakarta Pusat, hal yang sama dialami Rangga Setiawan bin Aliman. Atas upaya semena-mena itu, LBH Jakarta mewakili keluarga akan melakukan upaya hukum praperadilan.

“Kita ke depan akan melakukan gugatan praperadilan, karena penangkapan tidak sah,” ujar advokat publik LBH Jakarta, Hendra Supriatna di Gedung LBH Jakarta, Senin (13/14).

Selain melakukan upaya praperadilan, LBH Jakarta akan membawa kasus dugaan rekayasa kasus ke Divisi Propam Mabes Polri. Ia meminta Polri di bawah tampuk kepemimpinan Jenderal Sutarman mampu membawa perubahan internal. Tidak sekedar perubahan di tataran konsep, tetapi implementasi di lapangan.

“Melaporkan ke Divisi Propam terkait ada perampasan barang klien kami, karena tidak relevan,” ujarnya.

Hendra menceritakan kronologis kasus yang menjerat kliennya. Pada pertengahan Desember lalu, tepatnya Selasa (10/13), Rangga Setiawan bin Aliman ditangkap dua orang berpakaian layaknya preman. Kedua orang itu, kata Hendra, bernama Topik dan Santo. Keduanya mengaku petugas kepolisian bagian Buru Sergap (Buser) Polsek Penjaringan, Jakarta Utara.

Anehnya, penangkapan terhadap Rangga tidak disertakan surat penangkapan dan dirinya justru diboyong ke Polsek Muara Karang. Menurut Hendra, kliennya dipaksa  mengakui perbuatan yang tak pernah dilakukan, yakni terkait penusukan terhadap salah satu anggota kepolisian dari Polres Jakarta Utara. Insiden penusukan terjadi pada Jumat (6/13) sekira pukul 18.15 Wib, di bilangan Pakin, Jakarta Utara.

Hendra mengatakan, upaya Polri dalam melaksanakan tugas demi mengejar pengakuan masih menggunakan cara lama, yakni kekerasan. Rangga dipukul hingga tulang hidungnya patah. Tak hanya itu, peluru panas yang dilepaskan dari senjata oknum polisi bersarang di kedua kakinya.

Menurut Hendra, pada saat terjadinya insiden penusukan, Rangga tak berada di tempat kejadian perkara (TKP). “Pada tanggal 6 Desember 2013 pukul 18.15 Wib, Rangga Setiawan bin Aliman tidak pernah ada di tempat kejadian perkara, di mana dirinya saat itu sedang bekerja di pabrik,” ujarnya.

Asisten pembela pidana LBH Jakarta Eko Haridani Sembiring menambahkan, setelah aksi penangkapan yang tidak sah itu, malam harinya sekira pukul 23.00 WIB, kediaman Rangga digeledah. Sejumlah barang milik Rangga disita seperti 1 unit telepon genggam merk Mito, 1 unit headset merk Samsung dan 1 buah pisau dapur. Eko menduga barang dari kediaman Rangga disita dalam rangka untuk merekayasa kasus.

“Hal tersebut didasari karena pada saat melakukan penggeledahan dan penyitaan pihak kepolisian  tidak pernah menunjukan surat izin melakukan penggeledahan dan penyitaan dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara,” ujarnya.

Eko berpendapat, semestinya cara kekerasan demi mengejar pengakuan tak diperbolehkan dilakukan. Apalagi, Indonesia telah meratifikasi Convention Againts Torture (CAT) melalui UU No.5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia.

“Perilaku pihak kepolisian ketika berhadap-hadapan dengan tersangka tidak juga berubah, yakni kekerasan selalu dikedepankan untuk mendapatkan alat bukti,” ujarnya.

Tidak Profesional
Ketidakprofesionalan anggota kepolisian dalam menjalankan tugas berujung makin merosotnya citra institusi kepolisian. Penyiksaan dengan berdalih mengejar pengakuan dan bukti semestinya sudah ditinggalkan. Menghormati dan menegakkan Hak Asasi Manusia (HAM) juga harus terpatri di benak setiap anggota kepolisian.

“Apalagi anggota kepolisian terikat dengan Perkap internal yang menghargai HAM,” ujar Hendra.

Hal lain yang menunjukan tidak profesionalnya oknum anggota kepolisian pada saat menjalani pemeriksaan adalah tidak diberikannya hak tersangka. Misal, tersangka diberikan pendampingan oleh penasihat hukum. Selain itu, meski penahanan Rangga diperpanjang, namun baik pihak penasihat hukum maupun keluarga belum menerima surat perpanjangan masa penahanan.

“Ini menjadi kritik besar terhadap reformasi kepolisian yang diusung Kapolri Jenderal Sutarman ini masih jauh. Padahal Perkap itu menjadi pedoman. Yang mengerikan itu, Rangga ditembak sampai dua kaki,” katanya.

Sebelumnya, Wakapolri Komjen Oegroseno menuturkan rekayasa kasus tak diperbolehkan dengan alasan apapun. Menurutnya, jika terbukti merekayasa kasus, maka oknum anggota kepolisian harus meminta maaf dan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Polri akan melakukan sidang kode etik yang sanksinya mulai ringan hingga berat.

“Kalau berat ya di PTDH –pemberhentian dengan tidak hormat-,” pungkasnya, Jumat (10/14) pekan lalu.
Tags:

Berita Terkait