Waspadai Imbas PP No. 1 Tahun 2014
Berita

Waspadai Imbas PP No. 1 Tahun 2014

Pengusaha tambang minta dukungan pemerintah.

ADY
Bacaan 2 Menit
Waspadai Imbas PP No. 1 Tahun 2014
Hukumonline
Menjawab pro kontra larangan ekspor mineral mentah, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No.1 Tahun 2014. PP ini akhirnya membuka pintu ekspor. Pasal 112C ayat (3) menyebutkan pemegang kontrak karya yang melakukan kegiatan penambangan mineral logam dan telah melakukan kegiatan pemurnian dapat melakukan penjualan ke luar negeridalam jumlah tertentu. Kebijakan serupa diberikan kepada pemegang IPU Operasi Produksi.

Namun jalan keluar yang diberikan pemerintah itu tetap tak memuaskan semua pihak. ID Susantyo, seorang yang mengaku sebagai direktur perusahaan nikel yang beroperasi di Sulawesi Tenggara mengatakan kebijakan tersebut justru menimbulkan ketidakpastian bagi sebagian pengusaha tambah.

Pengusaha yang paling terkena imbas kebijakan ini adalah mereka yang membuka usaha belum lama. Perusahaan yang masih ‘seumur jagung’, ata Susantyo, bakal menghadapi kesulitan besar. Seperti keluhan pengusaha lain, Susantyo merasa keberatan atas keharusan membangun pusat pemurnian mineral alias smelter. Biaya yang dikeluarkan sangat besar, bisa ratusan juta dolar Amerika Serikat. Belum lagi keengganan perbankan nasional menyalurkan pinjaman besar.

Lain lagi kekhawatiran Juan Forti. KoordinatorCentral Informasi Solidaritas Para Pekerja Tambang Nasional (Spartan) ini mengkhawatirkan imbas kebijakan tersebut terhadap pekerja. Berdasarkan data Spartan, sejak PP No. 1 Tahun 2004 terbit, sudah banyak pekerja terkena PHK. Sebagian besar, kata Forti, adalah karyawan perusahaan tambang nasional.

Pria yang bekerja di sebuah perusahaan tambang nasional yang beroperasi di Sulawesi itu menilai kebijakan larangan ekspor sebagai tragedi bagi pekerja. Ia memperkirakan lebih dari itu 500 ribu pekerja terancam diputuskan hubungan kerja mereka. Juan Forti mengaku sudah menyerahkan data ke Komisi IX DPR. “Pemerintah menerbitkan regulasi dan berdampak PHK massal,” ujarnya.

Susantyo membenarkan kekhawatiran Forti. Ia mengaku terpaksa mengambil kebijakan PHK jika larangan ekspor mineral mentah benar-benar dijalankan. Sebab, perusahaannya selama ini lebih berorientasi pada ekspor nikel ke China.

Kuncinya sekarang, kata Susantyo, adalah dukungan Pemerintah. Jika pengusaha wajib membangun smelter, maka pemerintah harus mengeluarkan kebijakan yang mempermudah pengusaha membangun pusat pemurnian mineral. “Kalau itu (dukungan pemerintah,-red) ada, pengusaha tambang juga mau bikin smelter,” katanya dalam jumpa pers di press room DPR, Rabu (15/1).

Juan Fonti juga meminta pemerintah mempertimbangan imbas sebelum menerbitkan kebijakan. Kebijakan PP No. 1 Tahun 2014 bukan hanya mengancam pekerja, tetapi juga pengusaha. Spartan mendesak pemerintah meninjau ulang kebijakan larangan ekspor. “Kami anggap pemerintah telah melakukan pelanggaran HAM,” tegas Juan.

Menanggapi keluhan Forti, komisioner Komnas HAM, Nurkholis, mengaku Komnas HAM sudah menerima laporan dugaan pelanggaran HAM dari para pekerja tambang atas kebijakan pemerintah itu. Namun, Komnas HAM belum memberikan sikap resmi atas kebijakan tersebut. Tapi yang jelas Komnas HAM mendukung agar sumber daya alam yang ada di Indonesia dikelola secara maksimal untuk pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya rakyat.

Menurut Nurkholis, Komnas HAM butuh penjelasan dari Kementerian terkait yang menerbitkan kebijakan tersebut. Mengingat kebijakan itu berdampak kepada pekerja tambang maka harus diperhatikan pemenuhan hak-hak mereka sebagai pekerja. Misalnya, jika terjadi PHK, pekerja berhak mendapat apa yang diatur dalam ketentuan ketenagakerjaan. Menurutnya, dalam menerbitkan kebijakan itu antar kementerian terkait harusnya saling berkoordinasi guna mengatasi masalah yang bakal muncul.

Walau begitu Nurkholis menduga dalam menerbitkan sebuah kebijakan, pemerintah pasti sudah mengetahui dampak yang akan timbul. Tapi persoalannya, pemerintah seringkali lamban dalam mengatasi dampak tersebut. “Makanya perlu dilihat dan evaluasi kebijakan pemerintah pasca regulasi itu diterbitkan,” urainya.

Untuk menangani masalah tersebut, Nurkholis mengatakan Komnas HAM akan fokus pada persoalan hak-hak pekerja. Kemudian akan melakukan sejumlah langkah. Misalnya, apakah Komnas HAM perlu turun ke lapangan, meminta klarifikasi pihak terkait atau melakukan mediasi. Mengingat jumlah pekerja yang di-PHK sangat banyak, Nurkholis menekankan pendekatan yang bakal dilakukan Komnas HAM tidak hanya menggunakan satu cara.

Sebab, setiap pekerja yang di-PHK atau korban memiliki karakter yang berbeda-beda, seperti besaran upah dan jabatannya. “Apa yang bisa dilakukan Komnas HAM, nanti membuktikan dulu dugaan PHK massal itu,” ucapnya.

Secara umum Nurkholis melihat pemenuhan HAM antara pekerja dan pengusaha ada perbedaan. Yaitu pekerja menitikberatkan pada hak-hak mereka sebagai pekerja. Misalnya upah pekerja harus dibayar penuh selama dirumahkan oleh pengusaha dan mendapat pesangon ketika di-PHK.
Tags:

Berita Terkait