Transaksi Pakai Bitcoin Langgar UU Mata Uang
Berita

Transaksi Pakai Bitcoin Langgar UU Mata Uang

Keamanan bertransaksi menggunakan bitcoin patut dipertanyakan. Terlebih lagi, layanannya menggunakan dunia maya.

Oleh:
FAT
Bacaan 2 Menit
Transaksi Pakai Bitcoin Langgar UU Mata Uang
Hukumonline
Bank Indonesia (BI) secara tegas menyatakan bahwa uang virtual bitcoin tak sesuai dengan amanat UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Deputi Gubernur BI Ronald Waas mengatakan, dalam UU Mata Uang hanya mengenal transaksi dengan menggunakan rupiah.

“Bitcoin bukan rupiah,” tegas Ronald dalam Focus Group Discussion dengan media terkait sistem pembayaran di Jakarta, Kamis (16/1).

Bukan hanya itu, lanjut Ronald, bitcoin yang merupakan uang virtual tersebut menggunakan layanan teknologi. Dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), seluruh layanan lembaga publik yang menggunakan teknologi peralatannya harus disertifikasi oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo).

Tapi sayangnya, BI belum mengetahui apakah peralatan teknologi terkait uang virtual bitcoin sudah disertifikasi oleh Kemenkominfo atau tidak. Hingga kini, belum ada laporan mengenai bitcoin ke BI.

“Apakah bitcoin memperoleh sertifikasi dari Kemenkominfo, itu harus dipertanyakan lagi. Jadi ada dua UU yang harus dilewati,” kata Ronald.

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Difi A Johansyah mengatakan, bitcoin merupakan uang virtual yang masih terbatas di dunia maya. Ia menyangsikan apakah bitcoin masuk kategori mata uang atau tidak. Selain itu, harus jelas juga siapa yang menerbitkan bitcoin.

“Karena uang itu ada backupnya. Uang itu hanya beredar di wilayah tertentu saja, kayak rupiah di Indonesia,” kata Difi.

Selain itu, lanjut Difi, pengawasan terhadap mata uang juga harus ada. Sedangkan bitcoin sendiri merupakan uang universal yang berlaku di dunia maya. Bahkan, jika seseorang di Jakarta bisa bertransaksi bitcoin dengan orang lain di luar negeri. “Jadi mekanisme bitcoin seperti itu, hanya value saja sebenarnya,” katanya.

Atas dasar itu, tak ada catatan pasti mengenai bitcoin. Hal itu dikarenakan tak ada yang mengatur secara hukum, pengawasan terhadap uang virtual ini juga tak ada. Bukan hanya itu, keamanan terhadap bitcoin juga patut dipertanyakan. Terlebih lagi layanan bitcoin yang menggunakan dunia maya.

“Salah satu risiko dari bitcoin itu adalah dia hanya berlaku di dunia maya. Dunia maya itu kan mengandalkan pada security pada IT, kalau misalnya bisa di hack atau ditembus, bobol. Pertanyaannya siapa yang memastikan bahwa ini aman,” kata Difi.

Hingga kini BI belum mengeluarkan regulasi mengenai bitcoin. Menurut Difi, bank sentral masih melakukan kajian terhadap uang virtual ini. Menurutnya, selama belum ada regulasi mengenai bitcoin dari BI, maka seluruh risiko yang terjadi tak bisa dituntut kepada regulator.

“Kita masih meneliti dulu keuntungannya seperti apa. Karena di Indonesia sendiri masih belum banyak (yang menggunakan, red) seperti negara lain, Thailand dan Perancis. Tapi kita antisipasi jangan sampai ke bank tapi belum ada regulasinya dan catatannya, risikonya besar. Siapapun yang menggunakan bitcoin, dia harus sadar dengan risiko yang ada,” tutur Difi.

Terkait bitcoin yang menjamin kerahasiaan pemiliknya, Difi menilai hal itu berpotensi terjadinya pencucian uang. Maka dari itu, jika akan ada regulasi mengenai bitcoin, harus dikoordinasikan dengan lembaga lain seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Tags:

Berita Terkait