Pengacara, Profesi Rentan Bunuh Diri
Jeda

Pengacara, Profesi Rentan Bunuh Diri

Karier mentereng dan hidup terlihat bahagia bukan jaminan.

Oleh:
RZK
Bacaan 2 Menit
Pengacara, Profesi Rentan Bunuh Diri
Hukumonline
Kenapa Para Pengacara Membunuh Diri Mereka Sendiri?” Demikian judul sebuah artikel yang dipublikasikan portal berita internasional ternama, www.cnn.com. Sekilas judul itu memang terdengar ‘seram’. Seolah-olah profesi praktisi hukum, khususnya pengacara dekat dengan kematian. Tetapi, media sekaliber CNN tentu tidak sembarang menulis.

Artikel CNN itu memang merujuk pada sebuah data penelitian yang dilansir oleh Centers for Disease Control and Prevention di Amerika Serikat (AS). Penelitian itu menyatakan bahwa pengacara berada di peringkat empat dalam daftar kematian akibat bunuh diri berdasarkan profesi. Peringkat tiga teratas adalah dokter gigi, apoteker, dan dokter.

Data Centers for Disease Control and Prevention diperkuat oleh pernyataan dari American Psychological Association, bahwa pengacara adalah profesi yang rentan mengalami depresi. Orang yang berprofesi pengacara 3,6 kali lebih rentan depresi dibandingkan non pengacara. Sementara, depresi adalah salah satu pemicu terjadinya bunuh diri.

Tidak hanya data penelitian, data empiris terkait tren bunuh diri di kalangan pengacara di AS juga cukup mencengangkan. Di Oklahoma, hampir setiap bulan sepanjang tahun 2004, seorang pengacara bunuh diri. Di South Carolina, enam pengacara bunuh diri dalam 18 bulan. Lalu di Kentucky, 15 pengacara bunuh diri sejak tahun 2010.

"Korbannya kebanyakan laki-laki,” kata Direktur Eksekutif Kentucky Bar Association, John Meyers. "Jika diperluas, kebanyakan dari pengacara litigasi, laki-laki dengan usia paruh baya.”

Finis Price III adalah salah satu contoh kisah tragis pengacara bunuh diri. Gambaran hidup Finis Price III sebenarnya terdengar ‘sempurna’. Dia dikenal sebagai pengacara dan profesor beken di Kentucky. Finis Price III juga memiliki pernikahan yang relatif bahagia. Heather Price, sang istri, bahkan tidak hanya menjadi mitra hidup tetapi juga mitra bisnis.

Tak dinyana, hidup yang terlihat bahagia itu ternyata berakhir tragis. Pada tahun 2012, Finis Price III mengakhiri hidupnya dengan cara melompat dari sebuah gedung.

Yang unik, tipikal kisah seperti Finis Price cukup banyak di AS. Seorang pengacara yang terkenal dan terlihat memiliki hidup bahagia justru mati bunuh diri. Pengacara asal Ohio, Ken Jameson misalnya. Pria berusia 58 tahun itu sukses menyumbang pemasukan AS$600 ribu untuk kantornya setiap tahun.

"Saya tidak bermimpi akan menjanda pada usia 58 tahun,” ujar Betsy Jameson, sang istri lirih. "Kami (berdua) baru saja memulai tahap terbaik dalam hidup kami. Kami punya cukup banyak uang.”

Mei 2011, Ken memutuskan untuk bunuh diri setelah mengalami depresi selama enam bulan. Menurut Betsy, suaminya selama ini sudah berusaha keras untuk keluar dari depresi akibat beban pekerjaan yang berat. Ken sudah berobat ke psikolog ataupun dokter, tetapi hasilnya nihil.

Fenomena pengacara bunuh diri ternyata dipandang cukup serius oleh organisasi pengacara, termasuk American Bar Association (ABA). Untuk mengatasi masalah seperti ini, ABA bahkan membentuk The ABA Commission on Lawyer Assistance Programs. Komisi ini diberi mandat untuk mengurusi masalah ketergantungan obat dan alkohol, stres, depresi dan masalah-masalah kesehatan jiwa lainnya.

Berdasarkan catatan CNN, keseriusan seperti yang ditunjukkan ABA juga terlihat di sejumlah negara bagian di AS. Dari 50 negara bagian, CNN menemukan setidaknya delapan organisasi pengacara yang begitu peduli terkait fenomena pengacara bunuh diri. Delapan organisasi pengacara itu mencoba menemukan cara bagaimana menyelesaikan masalah ini.

California, Montana, Iowa, Mississippi, Florida, South Carolina dan North Carolina memasukkan materi “kesehatan jiwa” dalam kurikulum pendidikan hukum berkelanjutan atau akrab disebut continuing legal education. Lalu, Kentucky saat menggelar konferensi memaparkan contoh-contoh perilaku yang dapat memicu bunuh diri untuk memberikan pendidikan kepada anggotanya.

Mengulang kembali kalimat pembuka di atas, kondisi di AS terkait tren pengacara bunuh diri memang 'menyeramkan'. Kita, sebagai masyarakat Indonesia, tentunya berharap tren di AS tidak menjalar ke Tanah Air. Jadi, bagaimana wahai pengacara Indonesia? Siap melakukan antisipasi sebelum jatuh banyak korban?

Sumber:
www.abajournal.com
www.cnn.com
Tags: