Kaji Ulang Kebijakan Industri Nasional
Berita

Kaji Ulang Kebijakan Industri Nasional

Pemerintah harus memiliki posisi tawar yang kuat dengan pihak asing untuk melindungi industri nasional.

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
Kaji Ulang Kebijakan Industri Nasional
Hukumonline
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau yang juga dikenal sebagai ASEAN Economic Community (AEC) 2015 bakal menjadi ajang pertarungan daya saing industri antar negara anggota. Sejatinya, ajang tersebut harus memberikan nilai tambah bagi perekonomian dalam negeri. Siapkah industri Indonesia memasuki pasar bersama ASEAN?

Sebelum prinsip-prinsip MEA 2015 dijalankan, Pemerintah telah mencanangkan kebijakan industri nasional lewat Perpres No 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional. Kebijakan tersebut pada dasarnya menggolongkan beberapa industri menjadi industri prioritas yang harus diutamakan dan diperhatikan. Bahkan dari sisi regulasi, kini Indonesia sudah memiliki UU Perindustrian yang baru.

Sayangnya, konsekuensi dari kebijakan tersebut tidak dijalankan oleh pemerintah. Setidaknya, begitulah pandangan dari Direktur Eksekutif Centre of Reform on Economics (CORE) Hendri Saparini dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (28/1). "Pemerintah harus didorong untuk melakukan review kebijakan industri nasional. Di sana harus ada komitmen yang didasarkan pada strategi komprehensif terintegrasi. Apalagi sekarang tidak ada law enforcement," kata Hendri.

Menurutnya, Perpres Kebijakan Industri Nasional tersebut telah memilah beberapa industri prioritas yang yang menjadi andalan masa depan  seperti industri agro, industri alat angkut dan industri telematika. Penjelasan kebijakan industri nasional tercantum dalam lampiran Perpres No. 28 Tahun 2008.

Namun, Hendri mempertanyakan efek dari kebijakan pemerintah tersebut. Apakan ada hal-hal yang menunjukkan kemajuan terhadap penggolongan industri yang masuk ke dalam prioritas? Atau apakah industri-industri tersebut menunjukkan hal yang lebih baik dari sebelumnya.

Hendri menilai industri prioritas yang telah dibentuk pemerintah tidak berjalan sebagaimana mestinya. Bahkan, tidak didukung oleh jejaring dalam negeri. "Ada konsekuensi dan anggaran pada saat membuat aturan industri prioritas, namun konsekuensinya belum dilakukan pemerintah," ujarnya.

Guna menghindari kerugian yang akan diperoleh oleh Indonesia pada MEA 2015 mendatang, Hendri berpendapat pemerintah harus segera mereview kebijakan industri nasional. Melalui review tersebut, masih dimungkinkan ada perubahan industri prioritas yang memang didasarkan pada kandungan lokal (local content) serta memberikan nilai tambah.

Sejauh ini, penetapan industri prioritas yang dilakukan pemerintah adalah mengacu pada industri Penanaman  Modal Asing (PMA). Industri yang diminati PMA kemudian dijadikan industri utama. Hendri menegaskan, strategi yang dilakukan pemerintah adalah strategi 'semasuknya, seadanya dan sedatangnya.'

Senada, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Padjajaran Bandung, Ina Primiana berpendapat harus ada perbaikan industri prioritas nasional pada 2014 ini. Sejauh ini, industri prioritas masih fluktuatif; belum menunjukkan pertumbuhan yang stabil dan membaik. Buktinya, sejak dicanangkan tahun 2010, rata-rata pertumbuhan industri prioritas nasional masih di bawah 6 persen. "Beberapa industri mengalami surplus perdagangan tetapi belum dapat menutupi defisit dengan beberapa negara mitra utama," katanya.

Menurut Ina, kondisi ini disebabkan oleh banyak hal antara lain belum ada komitmen bersama antar Kementerian/Lembaga (K/L) untuk mendorong industri prioritas nasional secara terintegrasi/hilirisasi, lemahnya kebijakan yang dapat menekan biaya produksi seperti pelayanan pelabuhan, kemacetan jalan raya dan jalan kereta api serta sulitnya industri prioritas nasional membuat perencanaan jangka panjang karena sering adanya kebijakan-kebijakan yang tidak direncanakan jauh sebelumnya dan membebani industri.

"Selain itu liberalnya bea masuk dan kurang tanggap terhadap produk produk yang diduga melakukan politik dumping, termasuk yang tidak memiliki izin," ujarnya.

Agar pelaksanaan MEA 2015 dapat memberikan nilai tambah bagi Indonesia, Ina menilai pentingnya sinergi antar K/L untuk mendorong industri yang akan menjadi unggulan atau menghindari kebijakan tanpa koordinasi. Memperhatikan kebituhan yang dapat meningkatkan daya saing dan seluruh fasilitas untuk menekan biaya ekonomi tinggi.

Melakukan percepatan realisasi infrastruktur yang tertunda, terutama akses jalan dari/ke pelabuhan dan kawasan industri. Dalam hal ini, sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah perlu ditingkatkan. Dan, melindungi industri nasional dari unfair trading, pemerintah diharapkan lebih memahami praktik dagang negara dan aturan lainnya terutama negara maju agar tidak merugikan industri nasional.

"Pemerintah juga harus memiliki posisi tawar yang kuat, mengevaluasi perdagangan yang terus menerus defisit, melakukan strategi defensif dan ofensif untuk memperkuat industri nasional serta konsisten mengawasi barang yang beredar dan penerapan aturan," pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait