Aturan LTV Properti Masih Dikeluhkan
Berita

Aturan LTV Properti Masih Dikeluhkan

Suku bunga yang tinggi semakin menyulitkan masyarakat menengah ke bawah untuk memiliki rumah.

Oleh:
FAT
Bacaan 2 Menit
Aturan LTV Properti Masih Dikeluhkan
Hukumonline
Beberapa waktu lalu, Bank Indonesia (BI) mengubah aturan Loan To Value (LTV) untuk Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan kendaraan bermotor. Meski aturan KPR sudah diterapkan, tetapi masih ada keluhan yang datang dari pengembang. Salah satunya dari Real Estate Indonesia (REI).

Ketua Umum REI Eddy Hussy berharap agar BI dapat meninjau kembali aturan tersebut. Menurutnya, aturan dengan Down Payment (DP) sebesar 30 persen itu terlalu memberatkan bagi masyarakat menengah ke bawah. Bahkan, dengan adanya aturan tersebut, rencana untuk memperkecil kekurangan perumahan (backlog) dirasa tak akan terjadi.

“Dengan aturan DP 30 persen, backlog kekurangan perumahan tidak akan terkejar,” kata Eddy dalam sebuah seminar di Jakarta, Rabu (12/2).

Menurutnya, angka DP yang tepat bagi masyarakat menengah ke bawah berkisar antara 15-20 persen dari total kredit. Ia yakin, dengan DP sebesar itu maka pertumbuhan kredit tak akan terlalu cepat dan dapat memenuhi kekurangan perumahan. Terkait ancaman bubble atau penggelembungan harga di sektor properti, Eddy tidak mengkhawatirkannya.

Hal ini terlihat dari kecilnya data pemberian kredit di sektor properti. Hingga saat ini, data pemberian kredit properti di Indonesia sebesar 3,4 persen. Jauh berbeda jika dibandingkan dengan negara lain yang bisa sampai 30 persen. “Indonesia masih sangat aman,” katanya.

Berdasarkan data Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera), terdapat kekurangan perumahan (backlog) sebanyak 15 juta unit dengan pertumbuhan kebutuhan rumah baru setiap tahun sebanyak 800 ribu unit. Jika asumsi harga rumah Rp100 juta per unit, maka kebutuhan pembiayaan perumahan per tahun adalah Rp80 triliun.

Sekretaris Komite Ekonomi Nasional (KEN) Aviliani mengatakan, persoalan properti menjadi pekerjaan rumah (PR) tersendiri bagi pemerintah. Terlebih lagi dengan kondisi suku bunga bank yang tinggi, bisa mengakibatkan masyarakat menengah ke bawah sulit untuk memiliki rumah. “Ini PR pemerintah, tidak bisa dijalankan swasta,” katanya.

Salah satu pintu masuknya adalah melalui RUU Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Dalam RUU ini bisa dimasukkan skema seperti Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), di mana ada kewajiban bagi masyarakat untuk memberikan iuran yang nantinya bisa dimanfaatkan untuk kepemilikan rumah.

Atas dasar itu, perlu ada pemisahan antara properti untuk kalangan menengah ke atas dengan masyarakat menengah ke bawah. Pemisahan ini untuk mengurangi semakin melebarnya gap antara yang mampu dan miskin.

“Selama ini rumah bukan hanya untuk tempat tinggal, tapi investasi bagi kalangan menengah ke atas,” katanya.

Hal senada diutarakan oleh Direktur Utama PT Sarana Multigriya Finansial (SMF) Rahardjo Adisusanto. Menurutnya, dari data yang dirilis Kemenpera tersebut terdapat ketimpangan kebutuhan rumah bagi masyarakat menengah ke bawah. Salah satu alasannya karena bunga angsuran properti yang masih belum terjangkau oleh masyarakat menengah ke bawah.

“Pangsa pasar kelas menengah ke bawah penghasil tetap dan tidak tetap belum sepenuhnya tersentuh. Padahal kebutuhan perumahan bagi masyarakat menengah ke bawah itu masih sangat besar,” katanya.

Terkait penyaluran KPR, lanjut Rahardjo, masih didominasi sektor perbankan. Sedangkan lembaga keuangan non bank ataupun perusahaan pembiayaan, belum terlalu besar. Tingginya suku bunga bank tersebut, semakin membuat masyarakat menengah ke bawah kesulitan untuk mengangsur KPR.

Atas dasar itu, Rahardjo berharap, terdapat program dari pemerintah agar masyarakat menengah ke bawah dapat memiliki rumah. Salah satunya dengan memberikan peluang bagi perbankan untuk mendorong KPR dengan skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP).

“Inikan tentu untuk membantu kepemilikan rumah bagi masyarakat menengah ke bawah dengan suku bunga terjangkau dan juga fixed,” katanya.

Hal yang sama diutarakan ‪Deputi Komisioner Industri Keuangan Non Bank (IKNB) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dumoly Freddy Pardede. Menurutnya, tingginya suku bunga semakin mencekik masyarakat kelas menengah ke bawah untuk memiliki rumah. Alasannya, sebagian besar pembiayaan rumah dengan skema KPR masih disalurkan oleh perbankan.

“Kalau bunga naik terus, masyarakat golongan menengah ke bawah menjadi sulit memiliki rumah. Padahal permintaan rumah untuk mereka itu sangat besar. Ini bisa menciptakan kemiskinan permanen,” tutupnya.
Tags:

Berita Terkait