Potensi Bubble Mengancam Kredit Properti
Berita

Potensi Bubble Mengancam Kredit Properti

Perbankan diharapkan dapat menekan penyaluran kredit properti yang menyasar kalangan menengah khususnya untuk KPR kedua dan seterusnya.

FAT
Bacaan 2 Menit
Potensi Bubble Mengancam Kredit Properti
Hukumonline

Potensi bubble (penggelembungan harga) mengancam bisnis properti di Indonesia. Asisten Gubernur Bank Indonesia (BI) Mulya E Siregar mengatakan, potensi ini terlihat dari data sistem informasi debitur yang dimiliki BI. Dalam data tersebut ditemukan bahwa jumlah konsumen yang melakukan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) lebih dari satu unit mencapai 35.298 debitur.

Bukan hanya jumlah debitur yang banyak, kata Mulya, ancaman bubble dapat terjadi lantaran total kredit di sektor properti mencapai Rp31,8 triliun. Atas dasar itu, BI melihat pertumbuhan KPR di Indonesia masih sangat besar. Untuk mencegah hal tersebut, ia menyarankan agar pihak pengembang (developer) maupun perbankan melakukan shifting ke penyediaan rumah untuk tipe kecil.

“Ketentuan ini justru mendorong pembangunan menengah kecil, bukan meningkatkan backlog perumahan,” kata Mulya dalam sebuah seminar bertema ‘Prospek Pembiayaan Properti Setelah Bank Dilarang Membiayai KPR Inden’ di Jakarta, Kamis (28/11).

Bukan hanya itu, kata Mulya, BI berharap perbankan dapat menekan penyaluran kredit properti yang menyasar kalangan menengah ke atas, khususnya untuk KPR kedua dan seterusnya. Menurut dia, tingginya investasi di sektor properti juga menyumbang potensi terjadinya bubble.

Tingginya pertumbuhan kredit properti ini sejalan dengan hasil survei yang dilakukan BI pada Mei 2013. Dalam survei tersebut, sebanyak 42,5 persen dari 5000 responden memilih untuk berinvestasi di sektor properti. Menurut Mulya, angka ini jauh lebih tinggi ketimbang responden yang memilih berinvestasi di deposito, emas, reksa dana maupun produk investasi lainnya.

Terkait rencana satu tahun ke depan, dari survei BI diperoleh hasil bahwa sebanyak 64 persen responden memilih untuk berinvestasi di sektor properti. Sedangkan untuk alasan ekspektasi kenaikan harga, sektor properti juga menjadi idaman para responden. “Sebanyak 81,1 persen responden menyebutkan alasan untuk berinvestasi sektor properti karena adanya ekspektasi kenaikan harga,” kata Mulya.

Terkait hal ini, EVP Coordinator Consumer Finance PT Bank Mandiri Tbk Tardi mengatakan, sektor properti di Indonesia belum mengalami bubble. Hanya saja, sektor properti di Indonesia kini tengah mengalami pertumbuhan yang relatif tinggi karena tingkat penyerapan yang besar.

Atas dasar itu, terus terjadi kenaikan harga properti di Indonesia. “Kenaikan harga properti di Indonesia terjadi bukan didominasi oleh kegiatan spekulasi, tapi karena tingginya tingkat penyerapan dan hunian properti, dengan tren yang terus meningkat,” kata Tardi.

Alasan lain belum terjadinya bubble, lanjut Tardi, terjadinya penurunan kualitas kredit di sektor properti, yakni masih di bawah tiga persen. Bukan hanya itu, angka kredit bermasalah atau non Performing Loan (NPL) untuk KPR dan Kredit Pemilikan Apartemen (KPA) per September 2013 masih di bawah lima persen. Hal ini pula yang memberikan ruang bagi sektor properti untuk tumbuh. “Ini memberikan ruang untuk tumbuh dan masih jauh dari kejenuhan,” tukasnya.

Sebelumnya, BI mengubah aturan terkait Loan To Value (LTV) di perbankan konvensional dan Financing To Value (FTV) bagi perbankan syariah untuk kredit pemilikan properti dan kredit konsumsi beragun properti. Aturan baru itu tercantum dalam Surat Edaran (SE) BI No. 15/40/DKMP tentang Penerapan Manajemen Risiko Pada Bank Yang Melakukan Pemberian Kredit Atau Pembiayaan Pemilikan Properti, Kredit Atau Pembiayaan Konsumsi Beragun Properti dan Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor.

Tags: