Membedah Logika Hukum PP Kebijakan Energi
Fokus

Membedah Logika Hukum PP Kebijakan Energi

Ada pandangan keliru soal bentuk produk hukum turunan undang-undang.

KAR/M-16
Bacaan 2 Menit
Foto: www.den.go.id
Foto: www.den.go.id
Sektor energi menjadi cerminan amanat konstitusi mengenai hajat hidup orang banyak. Hal ini sudah disadari pemerintah sejak tahun 1981 dengan menerbitkan Kebijakan Umum Bidang Energi. Sayangnya, penataan pengelolaan energi Indonesia hingga kini belum menghasilkan capaian berarti. Pemerintah masih harus menganggarkan US$125 juta untuk mengimpor 900.000 barel minyak setiap hari.

Padahal, Indonesia yang disebut-sebut sebagai tanah surga menyimpan potensi energi yang sangat besar. Hampir separuh potensi panas bumi dunia tersimpan di perut bumi pertiwi yang masih mengalami krisis listrik ini. Lokasi ladang gas terbesar di dunia juga berada di tanah Nusantara yang masih harus mengimpor gas cair.

Sederet masalah energi tersebut merupakan akibat keroposnya payung hukum, koordinasi dan implementasi kebijakan energi. Undang-Undang No.30 Tahun 2007 tentang Energi mencoba memberikan solusi dengan mengamanatkan perumusan Kebijakan Energi Nasional. Pada 28 Januari lalu, DPR menyetujui Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional (PP KEN).

Sesuai amanat Pasal 17 UU Energi, KEN menjadi payung hukum bagi pemerintah untuk menyusun Rencana Umum Energi Nasional.  Pasal 11 ayat (2) UU Energi menyatakan, Kebijakan energi nasional ditetapkan oleh Pemerintah dengan persetujuan DPR. Namun, tak ada pengaturan lebih lanjut dalam bentuk apa KEN nasional itu harus dibuat.

Oleh karena itu, menarik untuk membedah PP KEN dari sudut pandang hukum formil maupun materil. Sudah tepatkah sebuah kebijakan strategis seperti KEN dituangkan dalam produk hukum bernama PP. Lantas, apakah sebuah KEN yang tertuang dalam PP masih harus mendapat persetujuan DPR?

Mispersepsi
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) unsur akademisi, Tumiran, mengatakan bahwa KEN harus diterbitkan dalam bentuk PP meskipun UU Energi tak menyebutkan secara pasti. Alasannya, DPR meminta agar dibuat sebagai PP. Ia mengungkapkan hal ini lantaran tata urutan KEN di bawah undang-undang.

“Jadi, DEN menyusun KEN kemudian diserahkan kepada pemerintah. Selanjutnya, pemerintah meminta persetujuan DPR. DPR meminta untuk dibuat menjadi PP, sebab harus dibawah undang-undang,” ujarnya.

Anggota Komisi VII DPR Sutan Sukarnotomo mengatakan, KEN merupakan amanat undang-undang sehingga bentuknya harus berupa PP. Namun, nilai substansi PP KEN membuatnya istimewa sehingga harus mendapat persetujuan DPR. “Memang seharusnya PP itu kan pemerintahsaja yang buat DPR tak perlumenyepakati. Tetapi, karena KEN ini penting,makannya pemerintah meminta pertimbangan DPR,” katanya.

Sutan mengatakan, PP KEN dinilai strategis karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Menurutnya, perhitungan kebutuhan energi Indonesia sudah demikian genting. Pertumbuhan ekonomi mendorong pertumbuhan kebutuhan energi. Sementara itu, kemampuan produksi dalam negeri cenderung menurun.

Pakar Ilmu Perundang-undangan Universitas Indonesia (UI), Sony Maulana Sikumbang, menegaskan bahwa tidak semua persetujuan DPR harus berbentuk undang-undang. Hanya saja, menurut Sony, ketika persetujuan itu dalam kemasan produk hukum maka secara formil harus menjadi undang-undang. “PP KEN ini sebenarnya hanya mispersepsi,” ujarnya.

Ia mengatakan, pembuatan KEN dalam PP merupakan akibat adanya anggapan yang salah bahwa pengaturan implementasi undang-undang hierarkinya harus di bawah undang-undang. Padahal, UU APBN menurutnya cukup menjadi contoh bahwa undang-undang bisa melahirkan undang-undang baru.

“PP sifatnya adalah pengaturan, regeling. Artinya, harus bersifat terus menerus dan tidak sekali selesai. Bisa pula PP bersifat pengaturan dan penetapan, tetapi tidak bisa sama sekali bersifat penetapan. Kalau buat saya kebijakan energi itu penetapan, karena ada jangka waktu pelaksanaannya. Meskipun panjang, itu tetap sekali selesai,” jelasnya.

Prof. Yuliandri dari Universitas Andalas berpendapat, harus dipisahkan terlebih dahulu antara persoalan kebijakan dan persoalan aturan dalam membedah PP KEN. Menurut guru besar peraturan perundang-undangan ke-dua di Indonesia itu, persetujuan DPR bukan diberikan terhadap PP.

“Kalau PP tidak perlu ada keterlibatan DPR, karena ranahnya di pemerintah,” ujarnya.

Ia mengatakan, keterlibatan DPR berada dalam pembahasan kebijakan yang kemudian mendapat bentuk hukum sebagai PP. Yuliandri melihat DPR terlibat sebelum kebijakan tersebut dirumuskan di dalam PP. Dia menilai peran DPR adalah untuk menentukan esensi apa yang nanti menjadi aturan.

Berbentuk Undang-undang
Sony Maulana Sikumbang berpandangan, dilihat dari perspektif hukum formil maka KEN tepatnya dikeluarkan sebagai undang-undang. Menurutnya, regulasi yang mestimendapat persetujuan DPR itu seharusnya berbentuk undang-undang. Hanya saja, ia menambahkan, sifat undang-undang tersebut bukanlah pengaturan melainkan penetapan.

“Melihat secara formil, seharusnya KEN ini dibuat dalam bentuk undang-undang yang sifatnya penetapan. Sebab, sebuah kebijakan untuk jangka panjang dan perlu persetujuan DPR dalam bungkusan produk hukum ya harusnya berbentuk undang-undang,” katanya.

Secara hukum materiil, Sony melihat KEN bisa saja dituangkan dalam peraturan di bawah undang-undang. Konsekuensinya, kebijakan itu dibuat tanpa persetujuan DPR. Isinya yang bersifat penetapan lebih tepat dibungkus dalam bentuk Keppres.

“Kalaupun mau dalam bungkus aturan di bawah UU tanpa persetujuan DPR, itu lebih tepat dalam bentuk Keppres. Tetapi melihat nilai muatannya lebih tepat ya undang-undang,” ujarnya.

Lebih lanjut Sony mengatakan, pengaturan mengenai bentuk produk hukum dari perspektif formil dan materiil telah jelas. Persoalannya, ia menilai legal drafter peraturan tersebut belum sepenuhnya memahami. Akibatnya, terjadi salah kaprah seperti perumusan KEN ini.

“Kalau drafternya paham, pasti mengerti bentuk peraturan apa yang tepat menjadi bungkus regulasi itu,” katanya.

Tumiran mengakui, idealnya KEN dituangkan dalam sebuah produk hukum berbentuk undang-undang. Hal ini dikarenakanKEN merupakan sebuah kebijakan yang sangat strategis. Bahkan, presiden pun pernah menanyakan kepada DEN mengapa KEN tidak berbentuk undang-undang.

“Mengapa tidak kita buat berbentuk undang-undang yang karena mempertibangkan faktor waktu. Kalau dibuat undang-undang bisa lama lagi nanti, maka pilihannya dibuat aturan turunan undang-undang saja,” ujarnya.

Mengenai aturan turunan, Tumiran mengatakan ada pilihan antara dibuat menjadi PP atau Keputusan Presiden. Namun, iamemilih bentuk pertama karena Keppres terlalu rendah hierarkinya. Menurutnya, ketika dituangkan sebagai PP maka aturan itu memiliki tingkatan yang lebih tinggi.
Tags:

Berita Terkait