UII Persoalkan Aturan Pemilihan Anggota KY dan KPK
Berita

UII Persoalkan Aturan Pemilihan Anggota KY dan KPK

Para pemohon diminta menguraikan kerugian konstitusionalnya.

ASH
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES
Aturan kewenangan DPR dalam pemilihan anggota KY dan anggota KPK dipersoalkan Rektor UII Yogyakarta Prof Edy Suandi Hamid dan Dosen FH UII Yogyakarta Sri Hastuti Puspitasari melalui pengujian UU No. 18 Tahun 2011 tentang KY dan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Mereka memohon pengujian Pasal 28 ayat (6) dan ayat (3) huruf c, Pasal 37 ayat (1) UU KY dan Pasal ayat (1), (10), (11) UU KPK terkait mekanisme pemilihan anggota KY dan KPK oleh DPR.  Penerapan pasal-pasal itu dinilai bertentangan dengan Pasal 24B ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

“Praktiknya, pasal-pasal itu mempengaruhi independensi KY dan KPK dalam menentukan siapa yang akan menjadi calon anggota KY dan KPK,” tutur kuasa hukum pemohon, Zairin Harahap  saat sidang perdana yang diketuai Ahmad Fadlil Sumadi di ruang sidang MK, Selasa (11/2). Fadlil didampingi Muhammad Alim dan Patrialis Akbar selaku anggota majelis panel.

Misalnya, Pasal 28 ayat (6) UU KY menyebutkan DPR wajib memilih dan menetapkan 7 calon anggota paling lambat 30 hari sejak tanggal diterima usul dari Presiden. Sementara Pasal 30 ayat (1), (10), (11) UU KPK menyebutkan DPR wajib memilih dan  menetapkan 5  calon yang diusul presiden dengan perbandingan 1 berbanding 3.  

Zairin menegaskan persetujuan DPR terhadap calon anggota KY pun disebutkan dalam Pasal 71 huruf o UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Jadi kewenangan konstitisional DPR bersifat “persetujuan” bukan “memilih”. Dengan begitu, Frasa “memilih dan menetapkan” dalam Pasal 28 ayat (6) UU KY sangat jelas bertentangan dengan Pasal 24B ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan anggota KY diangkat dan diberhentikan oleh presiden dengan persetujuan DPR.

“Karena kata ‘persetujuan’ dan ‘memilih’ berbeda secara otomatis Pasal 28 ayat (3) huruf c dan Pasa 37 ayat (1) UU KY yang menyebut dalam hal terjadi kekosongan, presiden mengajukan 3 calon pengganti dari jumlah keanggotan yang kosong, juga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” tuturnya.

Dia mengakui, kewenangan DPR dalam pemilihan anggota KPK tidak diatur dalam konstitusi. Namun, faktanya cukup banyak UU yang memberi wewenang DPR untuk terlibat dalam pengisian jabatan publik. Seperti pengangkatan Panglima TNI dan Kapolri yang didasarkan Pasal 13 UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI dan Pasal 11 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dengan mekanisme persetujuan DPR.

“Tetapi, pengajuan calon anggota KY dan KPK dengan metode 3 berbanding 1 yang dapat dimentahkan DPR. Padahal, panitia seleksinya sudah melibatkan tokoh-tokoh berintegritas. UU itu tidak konsisten,” lanjutnya.    

Menurut dia banyaknya UU yang memberi wewenang DPR dalam rekrutmen pejabat publik telah mengakibatkan “pergeseran” fungsi DPR sebagai pembentuk UU dan pengawas pelaksanaan UU alias semi eksekutif. Apabila ini tidak diluruskan akan mengganggu pelaksanaan prinsip check and balances. “Harusnya, DPR cukup memberi persetujuan seperti rekrutmen Panglima TNI dan Kapolri,” harapnya.

Karena itu, para pemohon meminta MK membatalkan kata “memilih” dalam Pasal 28 ayat (6) UU KY dan kata “dipilih’ dan frasa “memilih dan menetapkan” dalam Pasal 30 ayat (1), (10), (11) UU KPK sepanjang dimaknai “persetujuan”. Selain itu, frasa “sebanyak tiga (tiga) kali” dalam Pasal 37 ayat (1) UU KY harus dimaknai “sebanyak sama dengan.”                   

“Frasa ‘sebanyak 21 (dua puluh satu)’ dalam Pasal 28 ayat (3) huruf c UU KY bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat sepanjang tidak dimaknai sebanyak 7 (tujuh) calon,” tuntutnya.

Kerugian konstitusional  
Menanggapi permohonan, Anggota Panel Patrialis menilai materi permohonan sangat jelas maksud dan persoalan yang dipaparkan. Namun, ia mempertanyakan kerugian hak konstitusional yang dialami para pemohon, meski sedikit dijelaskan adanya potensial kerugian.

“Kerugian konstitusional belum terlihat, apakah para pemohon pernah gagal menjadi komisioner KY atau KPK atau potensial tadi? Ini harus diuraikan lebih jelas kerugian konstitusionalnya,” saran Patrialis.

Dia juga menyarankan agar para pemohon memasukkan Pasal 20A UUD 1945 yang menyangkut fungsi-fungsi DPR. “Saya kira pasal itu penting untuk dijadikan landasan dalam permohonan ini,” dalihnya.

“Tadi disinggung, KPK tidak diatur dalam UUD 1945, hemat saya ada baiknya memasukkan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 yang mengakui badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang. Ini perlu dimasukkan!”

Ahmad Fadli Sumadi juga mempertanyakan kenapa pemohon tidak memasukkan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yang salah satunya pengabdian kepada masyarakat. “Bisa saja pengujian UU ini bagian dari kepedulian UII Yogyakarta terhadap persoalan ini sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat. “Ini sebaiknya perlu dimasukkan,” sarannya.
Tags:

Berita Terkait