Menkumham: Jangan Bisniskan Kasus Satinah
Berita

Menkumham: Jangan Bisniskan Kasus Satinah

Pembayaran diyat oleh pemerintah jangan dijadikan kebiasaan.

Oleh:
HRS/Ali
Bacaan 2 Menit
Menkumham Amir Syamsuddin. Foto: SGP
Menkumham Amir Syamsuddin. Foto: SGP
Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin meminta agar kasus yang menimpa tenaga kerja Indonesia Satinah tidak dieksploitasi.

Amir merasa khawatir ada pihak-pihak tertentu yang menjadikan kasus ini dan kasus-kasus serupa lainnya menjadi ladang bisnis."Pemerintah dulu menebus Darsem Rp4 miliar dan sekarang Rp25 miliar. Saya khawatir ini bisa menjadi pola bisnis," tutur Amir di Jakarta, Selasa (25/3).

Ketika ditanyakan bagaimana sikap pemerintah terhadap kasus Satinah, Amir dengan tegas mengajak para pihak untuk menghormati kedaulatan hukum negara lain. Amir tak ingin merecoki hukum negara lain sebagaimana ia tak suka jika ada negara lain yang mengintervensi kedaulatan hukum negara Indonesia.

Amir menambahkan upaya terbaik sekarang ini adalah menjadikan kasus Satinah sebagai pelajaran bagi pemerintah. Pemerintah akan membekali tenaga-tenaga kerja Indonesia dengan  pengetahuan hukum yang baik sehingga ketika bekerja di negara lain, para tenaga kerja tidak melakukan perbuatan yang melanggar hukum.

"Jangan sampai terdampar di negeri orang, melakukan perbuatan tidak terpuji dan menghadapi permasalahan hukum, terus pemerintah yang dipersalahkan," lanjutnya.

Amir menolak jika pemerintah dikatakan tidak prihatin atau mengabaikan kasus Satinah. Pemerintah memang berkewajiban melindungi warga negaranya. Akan tetapi, Ia juga meminta agar warga negara Indonesia itu juga harus sadar ketika melanggar hukum di negara manapun, pasti dihukum.

"Harus sadar itu di dalam dirinya. Jangankan Saudi, di Indonesia saja pasti dihukum," pungkasnya.

Jangan Jadi Kebiasaan
Terpisah, Dirjen Hak Asasi Manusia Kemenkumham Harkristuti Harkrisnowo mengatakan bahwa langkah pemerintah yang kerap membayar diyat untuk membebaskan tenaga kerja Indonesia (TKI) di Arab Saudi dari ancaman pidana sebagai kecenderungan tak bagus. “Ini kurang bagus,” ujarnya di Gedung Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Selasa (25/3).

Harkristuti mengatakan keluarga korban pembunuhan kerap menaikan besaran diyat ketika tahu bahwa pemerintah Indonesia akan berupaya membebaskan TKI yang terancam hukuman mati. Misalnya, dalam kasus Satinah yang awalnya diyat senilai Rp 2 miliar, lalu melonjak menjadi Rp 21 miliar.

Lebih lanjut Harkristuti mengatakan bahwa pemerintah harus mencari jalan untuk membebaskan TKI yang terjerat pidana mati selain dengan membayar diyat. “Itu menjadi beban negara. Misalnya anggaran Rp21 miliar. Kan bisa dialokasikan ke rakyat miskin,” tambahnya.

“Bila perhitungan Rp 21 miliar untuk Satinah, lalu akan ada berapa orang lagi yang harus dibela,” ujarnya.

Harkristuti mengatakan cara lain untuk membebaskan TKI yang terjerat hukuman mati adalah dengan melakukan langkah preventif berupa pembekalan pengetahuan hukum ke TKI yang akan diberangkatkan. Sehingga, mereka akan berpikir dua kali bila ingin melakukan tindak pidana.

“Selain itu, pemerintah juga harus memaksimalkan lawyer-lawyer yang ditunjuk untuk membela TKI yang bermasalah secara hukum,” tuturnya.

Sebagai informasi, hukum pidana di Arab Saudi menggunakan hukum qishos, bunuh dibalas dengan bunuh (hukuman mati). Namun, si pembunuh bisa lolos dari jerat hukuman mati asalkan keluarga korban memberi maaf. Bentuk maaf ini ada yang berupa maaf murni, ada juga maaf yang diberikan dengan konsekuensi pembayaran diyat (denda dari pelaku ke keluarga korban). Nominal dari diyat ini ditentukan oleh keluarga (ahli waris) korban. 
Tags:

Berita Terkait