Ferrari dan Artis, Alasan Mahasiswa Ingin Jadi Advokat
Rechtschool

Ferrari dan Artis, Alasan Mahasiswa Ingin Jadi Advokat

Seharusnya uang bukan tujuan.

Oleh:
ALI
Bacaan 2 Menit
Sejumlah calon advokat dalam acara pengambilan sumpah. Foto: RES
Sejumlah calon advokat dalam acara pengambilan sumpah. Foto: RES
Advokat disebut-sebut sebagai profesi idaman para anak muda Indonesia saat ini. Hal ini berbeda dengan periode 1970an ketika banyak anak muda berlomba-lomba untuk menjadi insinyur. Lalu, apa alasan atau motivasi anak-anak muda Indonesia itu untuk menjadi advokat?

Ketua Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN PERADI) Otto Hasibuan mengatakan bahwa mayoritas alasan yang diberikan oleh anak-anak muda itu berkaitan dengan materi dan ketenaran.

“Sekarang ini banyak deviasi-deviasi motivasi orang menjadi advokat,” ujarnya dalam sambutannya usai melantik 399 advokat di Banten, Senin (14/4).

Otto melakukan penelitian kecil-kecilan untuk melihat motivasi itu. Ia mengaku sempat mewawancarai sejumlah calon mahasiswa ketika dia mengajar di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM). “Dari 120 orang calon mahasiswa, kalau nanti jadi mahasiswa hukum, hampir 90 persen mau jadi advokat,” jelasnya.

Otto pun menanyakan motivasi mereka ketika berada di ruang kuliah. Pertanyaan yang sama juga diajukan ketika mengajar Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA). “Saya tanya: Apa yang menjadikan Saudara ingin menjadi advokat? Tak semua mau menegakkan keadilan dan kebenaran,” ujarnya.

“Kebanyakan dari mereka mengatakan ingin memiliki mobil Ferrari dan ingin menjadi advokat dari artis-artis,” ujarnya.

Otto mengatakan membela artis (seperti yang dipertontonkan di infotaintment) bukan tindakan yang salah. Namun, ia meluruskan agar motivasi para calon advokat itu tak melulu hanya berkaitan dengan uang. “Itu bukan tujuan,” tuturnya.

Lebih lanjut, Otto menjelaskan filosofi mengapa dahulu di toga seorang advokat, kantongnya terletak di bagian belakang. Karena, meski uang itu perlu untuk menafkahi anak-istri, tetapi uang bukan sebagai tujuan. “Meski perlu, tapi bukan yang utama. Makanya, di toga advokat dahulu, kantongnya ada di belakang,” ujarnya.

“Ya, kalau sekarang, di toga advokat, kantongnya sudah banyak (tak lagi hanya di belakang,-red),” selorohnya.

Otto mengatakan dalam menjalankan profesinya, seorang advokat tak mendapatkan imbalan berupa gaji, melainkan honorarium. Istilah ini berasal dari kata berbahasa Inggris “Honor” yang berarti penghormatan. “Jadi, itu penghormatan kepada kita. Walau, sekarang kita katakan itu legal fee dan sebagainya, tapi itu semua bentuknya honorarium,” jelasnya.

Ketua Pengadilan Tinggi Banten Mas’ud Halim berharap para advokat-advokat muda tidak menjadi bagian dari masalah di pengadilan, tetapi bisa ikut berperan mewujudkan cetak biru pembaharuan Mahkamah Agung (MA) menuju peradilan yang agung.

“Saya yakin, di antara saudara-saudara nanti atau seluruhnya akan menjadi advokat ternama di Indonesia. Seperti Otto Hasibuan dan lain-lain. Yang tentu merintisnya tidak mudah untuk mencapai puncak advokat ternama dan punya Ferrari. Itu semua butuh perjuangan,” selorohnya dalam sambutan usai mengambil sumpah 399 advokat di Banten tersebut.

Keprihatinan yang disampaikan Otto Hasibuan sejalan dengan survei mahasiswa yang dilakukan tim hukumonline di Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, beberapa waktu lalu. Survei tersebut mengangkat pertanyaan “apa dasar pertimbangan anda dalam memilih karier?”

Hasilnya, mayoritas atau sekitar 42 persen mahasiswa fakultas hukum yang menjadi responden memberikan jawaban “materi (gaji)”. Jawaban tertinggi kedua dan seterusnya adalah “Kesesuaian dengan program kekhususan” (33%), “Pengabdian” (18%), “Arahan orang tua” (6%), dan “dan lain-lain” (1%).
Tags:

Berita Terkait