Putusan MK tentang PK: Menerobos Kesesatan dalam Peradilan
Dialog Hukum KHN

Putusan MK tentang PK: Menerobos Kesesatan dalam Peradilan

Terkait kekhawatiran akan membanjirnya PK berkali-kali, MA tidak boleh merasa terbebani karena itu bagian dari tugas MA.

Oleh:
RED
Bacaan 2 Menit
Foto: KHN
Foto: KHN
Sekretaris KHN, Mardjono Reksodiputro menyatakan mendukung putusan MK yang mengabulkan Uji Materi Pasal 268 ayat (3) UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, yang mengatur permintaan Peninjauan Kembali (PK). “Alasan upaya hukum luar biasa atau PK adalah untuk menciptakan keadilan, PK dibutuhkan untuk mencegah kesesatan dalam peradilan (miscarriage of justice),” terangnya.

Pendapat itu disampaikan Profesor Mardjono dalam Program Dialog Hukum KHN, bertema “Antisipasi Salah Tafsir Putusan MK tentang Peninjauan Kembali”, di Ruang Pertemuan Perpustakaan KHN, Lantai 2, Jl. Diponegoro, Jakarta, Rabu 19 Maret 2014. Hadir dalam program dialog berseri (dwimingguan) ini, selain Sekretaris KHN Prof. Mardjono Reksodiputro, S.H., M.A., Hakim Agung Prof Dr. Topane Gayus Lumbuun, S.H., M.H.

Dukungan Mardjono terhadap Putusan MK, didasari karena sering kali orang mengaitkan antara keadilan dengan kepastian hukum. Dua hal itu, menurutnya, di dalam hukum pidana memang sering sekali bertentangan. Ibarat pendulum lonceng, hakim dalam memutus sebuah perkara pidana kadang lebih mempertimbangkan kepastian hukum, kadang pertimbanganya lebih pada keadilan. Kondisi tersebut mengingatkannya pada pemikiran Almarhum Prof. Ruslan Saleh (Tim di BPHN untuk mengkaji penyusunan KUHP Nasional tahun 1980, red). Mantan Guru Besar UGM itu memasukan tambahan pasal dalam rancangan KUHP yang menyatakan; “apabila hakim dalam menangani dan memutus perkara pidana menemukan adanya pertentangan antara keadilan dan kepastian hukum, maka ia harus mengutamakan keadilan”.

Mardjono mengakui bahwa putusan MK terkait PK lebih dari satu kali dapat menimbulkan masalah di tengah masyarakat, tetapi untuk tingkat perwakilan di Mahkamah Agung (MA), hal tersebut justru baik dan diharapkan. Para hakim agung harus secara jelas menentukan ke arah mana penafsiran hukum harus dilakukan dengan mempertimbangkan antara lain rasa keadilan.

Mardjono mengingatkan bahwa penafsiran hukum oleh MA hanya bisa dilakukan melalui kasus. Karena itu, apabila ada permohonan PK, MA harus ektra hati-hati, karena PK itu tidak bisa sembarangan melainkan harus ada bukti baru (novum). “Di sinilah MA dapat melakukan interpretasi apakah suatu permohonan PK oleh terpidana atau keluarganya tersebut memuat novum atau tidak, intepretasi MA itu nantinya akan menjadi hukum untuk penyempurnaan hukum acara pidana agar menjadi lebih pantas,” terang pakar hukum pidana ini.

Terkait banyaknya kekhawatiran akan membanjirnya PK berkali-kali, Mardjono mengingatkan, MA tidak boleh merasa terbebani karena itu bagian dari tugas MA. Yang perlu dilakukan adalah bagaimana cara mengantisipasi banjirnya PK dengan lebih selektif melihat sebuah novum. Yang menurutnya juga sangat penting adalah, bahwa advokat yang mengajukan PK tidak boleh sembarangan. Mereka seharusnya adalah adalah kuasa hukum senior yang pengalaman dan keahliannya sederajat dengan hakim agung dan yang yang dinilai faham apa arti novum, sehingga seleksi PK bisa dilakukan sejak tahapan awal. “Jadi, MA harus membuat putusan mengenai apa yang termasuk novum, putusan itu kemudian menjadi pedoman bagi siapa saja yang hendak mengajukan PK. Jadi tidak segampang yang dibayangkan kebanyakan orang,” katanya.

Profesor Mardjono kembali menegaskan bahwa PK berkali-kali tidak menjadi soal. Menurutnya, PK adalah kesempatan yang dimiliki terpidana yang sudah menjalankan putusan pidana, misalnya pidana penjara, kemudian dia menemukan bukti baru yang seandainya pada waktu persidangan terdahulu bukti tersebut diajukan, maka akan mengubah putusan hakim.

Menurut Mardjono, orang  seringkali keliru beranggapan bahwa diberikanya kesempatan untuk menguji sebuah putusan di tingkat yang lebih tinggi itu menunjukan ketidakpercayaan kepada peradilan yang lebih rendah. “Oleh karena itu, asas peninjauan kembali ini tidak berkaitan sama sekali dengan adanya ketidakpercayaan kepada peradilan di bawah MA,” jelas Guru Besar Fakultas Hukum UI ini.

Mardjono menampik pendapat yang menyatakan bahwa putusan MK akan berakibat pada terjadinya kekosongan norma. Menurutnya, MK hanya membatalkan ayat (3) dari pasal 268 KUHAP yang menyatakan “permintaan PK hanya dapat dilakukan satu kali”. Dengan begitu, maka PK menjadi tidak dibatasi. Namun demikian dia meyakini bahwa MA nantinya akan membuat yurisprudensi sebagai pedoman mengenai batasan PK, sehingga menjadi lebih baik dengan adanya pedoman mengenai novum dan apa saja yang dapat dijadikan sebagai bukti baru untuk mengajukan PK.

Terkait kasus Antasari Azhar, setelah MA nanti menerima PK, Antasari harus membuktikan apakan ada novum, dan seharusnya hanya advokat senior yang boleh mengajukan PK. “Jadi tidak sembarang advokat boleh mengajukan memori PK. Karena memori PK harus menunjukan adanya keperluan MA membentuk hukum,” terangnya.

Mardjono mengakui memahami persoalan di masyarakat kita sering keliru dalam memahami bahwa meskipun ada PK tetapi itu tidak menghalangi putusan. Jadi putusan tetap harus dilaksanakan. Konsepnya apabila orang divonis 20 tahun kemudian dia menjalani hukuman, dan pada tahun kelima dia menemukan novum, maka dia boleh mengajukan PK, tetapi dia tidak bisa bebas, dia tetap harus menjalani hukumanya. Jika kemudian novum yang diajukan diterima dan PK itu meringankan hukumanya, maka itu keuntungan bagi terpidana.

Mardjono memberikan kesimpulan bahwa ada dua keprihatinan besar yang menjadi wacana terkait putusan MK; pertama, soal kemungkinan arus deras PK yang masuk ke MA akan merepotkan MA. Kedua, terpidana akan menghindar dari hukumanya.

Terkait dua hal itu, Mardjno menyarankan agar dijaga kualitas advokat yang boleh mengajukan PK. Karena di luar negeri praktik semacam itu terjadi, dalam arti advokat yang boleh berpraktek di MA atau peradilan sederajat dengan itu diatur ketat. Mengenai kekawatiran nantinya terpidana menghindari hukuman, menurutnya di dalam pasal 268 ayat (1) dijelaskan bahwa permintaan PK tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut. “Perlu diingat bahwa yang namanya manusia itu selalu ada kemungkinan salah, meskipun kecil selalu ada, maka berilah kesempatan selama tidak disalahgunakan, jadi yang perlu dijaga hanyalah agar tidak disalahgunakan,” pungkas Mardjono.

Putusan MK Arif dan Bijaksana
Senada dengan Prof. Mardjono, Hakim Agung Prof. Topane Gayus Lumbun menyatakan bahwa putusan MK yang mengabulkan permohonan uji materiil, terhadap ketentuan KUHAP yang mengatur mengenai batasan PK hanya satu kali, adalah sebuah putusan yang arif dan bijaksana karena tujuan hukum itu selain kepastian juga mempertimbangkan aspek kemanfaatan.

Kepastian hukum merupakan penerapan undang-undang terhadap peristiwa konkrit. Jadi sebuah bukti baru, sekalipun baru terungkap dua puluh tahun setelah kejadian, maka itu tetap merupakan peristiwa konkrit. Jadi ukurana bukan waktu melainkan kepastian hukum.

Kaitannya dengan PK, Gayus mencontohkan; “jika pada sebuah kasus seseorang divonis karena melakukan tindak pidana dan di kemudian hari ditemukan bukti baru, maka PK lebih dari satu kali harus menjadi pertimbangan bagi MA. Ini demi mencapai tujuan keadilan tersebut.

Profesor Gayus menjelaskan, hal pokok yang menjadi dasar PK boleh diajukan lebih dari satu kali, adalah terpidana menderita, sementara dia punya hak mengajukan bukti baru yang terungkap kemudian. Alasan tersebut berkaitan dengan pelaksanaan kekuasaan kehakiman oleh hakim.

Gayus bercerita, berkaitan dengan putusan MK yang mengabulkan permohonan PK bekali-kali, itu sebetulnya MA sudah lebih dulu megabulkan PK lebih dari sekali. Menurut catatannya, setidaknya ada sekitar tujuh kali MA mengabulkan PK yang diajukan kedua kali.

Gayus menjelaskan bahwa MA pernah menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 10 Tahun 2009 yang isinya menghimbau agar PK itu tertib dan mengaitkan dengan pasal 268 ayat (3) KUHAP, tetapi di dalamnya juga mengatur bahwa ”apabila ada bukti yang saling bertentangan antara satu dengan lainya maka PK tersebut dapat diperiksa”.

Untuk menjawab kekhawatiran publik bahwa putusan MK ini nantinya bisa menjadi dasar bagi terpidana melakukan PK berkali-kali, menurut Gayus dibutuhkan ketegasan sikap DPR dan Pemerintah, karena dalam putusan MK hanya mengatakan pasal 368 ayat (3) tidak lagi mengikat publik. Artinya MK tidak berwenang membuat norma baru untuk menentukan PK boleh dua kali, tiga kali atau empat kali.

Gayus termasuk yang berpendapat bahwa dengan dibatalkanya pasal 268 ayat (3) KUHAP oleh MK, menyebabkan terjadinya kekosongan norma, dan jika tidak segera diisi, kemungkinan bisa dimanfaatkan oleh advokat untuk melakukan PK berkali-kali tanpa batasan jelas. Secara pribadi Gayus berpendapat bahwa PK maksimal boleh dilakukan oleh terpidana sebanyak dua kali. Alasanya, agar tidak terjadi penumpukan perkara di MA.

Terkait hal di atas, Gayus berpandangan, sebenarnya MA mempunyai kewenangan membuat peraturan setingkat Undang-undang. “MA juga berhak membuat aturan untuk mengisi kekosongan hukum,” Gayus berpendapat.

Gayus tidak menampik pentingnya peran advokat senior sebagaimana gagasan Prof Mardjono karena advokat senior ini sangat berperan dalam pengajuan PK, sebab mengajukan PK bukan perkara mudah, di situ diperlukan kehati-hatian dan pemahaman mendalam mengenai kasus dan novum. Karena itu, dia mendukung konsep Parof. Mardjono mengenai adanya kualifikasi khusus bagi advokat yang boleh mengajukan PK. Namun, mengenai kuantitas, Gayus mengusulkan ada batasan maksimal dua kali, karena di MA hakim agung setiap perkara masuk hakimnya tidak boleh sama. “Jika PK bisa berkali-kali khawatir “stok hakim agung” yang harus mengadili akan habis,” jelasnya.

Kronologi Putusan MK
Hari Kamis, 6 Maret 2014, dunia komunitas hukum dikejutkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi mengenai Peninjauan Kembali. Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau yang biasa disebut dengan KUHAP, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 karena membatasi Peninjauan Kembali oleh terdakwa hanya sekali. Dengan alasan keadilan, Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal tersebut, yang merugikan kedudukan Pemohon yang dalam hal ini ialah Antasari Azhar. Putusan Mahkamah Konstitusi ini membuka jalan bagi Antasari Azhar untuk melakukan Peninjauan Kembali atas putusan Peninjauan Kembali dari Mahkamah Agung yang tetap memberikan hukuman bagi dirinya.

Cukup lama juga Antasari Azhar menunggu putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Pengajuan uji materil ke Mahkamah Konstitusi oleh Antasari Azhar telah dilakukan pada tanggal 25 April 2013. Dengan hanya diijinkan sekali mengajukan Peninjauan Kembali, maka menjadi rintangan bagi Antasari Azhar untuk mengajukan lagi Peninjauan Kembali terkait kasus yang menimpanya. Menurut Antasari Azhar pada waktu itu, ia sudah mempunyai bukti baru dan kuat.

Putusan ini menyiratkan bahwa Peninjauan Kembali dapat diajukan lebih dari sekali sepanjang memenuhi syarat yang ditentukan Pasal 268 ayat (2) KUHAP.

Berikut kutipan Putusan Mahkamah Konstitusi bernomor 34/PUU-XI/2013:
“Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya. Pasal 268 ayat (3) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.”

Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali secara historis dan filosofis merupakan upaya hukum yang lahir demi melindungi kepentingan terpidana. Hal itu berbeda dengan upaya hukum biasa yang berupa banding atau kasasi yang harus dikaitkan dengan prinsip kepastian hukum. Sebab, jika tidak adanya limitasi waktu pengajuan upaya hukum biasa itu, maka akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang melahirkan ketidakadilan karena proses hukum tidak selesai.

Selain itu, alasan lain Mahkamah Konstitusi ialah upaya hukum luar biasa bertujuan untuk menemukan keadilan dan kebenaran materil. Keadilan tidak dapat dibatasi oleh waktu atau ketentuan formalitas yang membatasi upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali, yang di dalam KUHAP, hanya dapat diajukan satu kali. Mungkin saja setelah diajukannya Peninjauan Kembali dan diputus, ada keadaan baru (novum) yang substansial, yang baru ditemukan saat Peninjauan Kembali sebelumnya belum ditemukan

Sementara KUHAP sendiri bertujuan untuk melindungi hak asasi manusia dari kesewenang-wenangan negara terkait dengan hak hidup dan kebebasan sebagai hak fundamental. Hak tersebut dijamin dalam konstitusi sebagaimana tersebut di dalam Pasal 28I ayat (4) dan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945. Oleh karenanya, Peninjauan Kembali sebagai upaya hukum luar biasa yang diatur dalam KUHAP harus lah dalam kerangka yang demikian, yakni untuk menegakkan hukum dan keadilan. Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa upaya pencapaian kepastian hukum sangat layak dibatasi. Namun tidak demikian dengan upaya pencapaian keadilan. Sebab keadilan kebutuhan manusia yang sangat mendasar dan lebih mendasar daripada kepastian hukum. “Kebenaran materil mengandung semangat keadilan, tetapi norma hukum acara mengandung sifat kepastian hukum yang terkadang mengabaikan asas keadilan.”

Karenanya, upaya hukum menemukan kebenaran materil demi memenuhi kepastian hukum telah selesai dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), dan menempatkan terdakwa menjadi terpidana. Hal ini dipertegas dengan Pasal 268 ayat (1) KUHAP yang menyebut, “Permintaan Peninjauan Kembali atas suatu putusan tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut.”

Menurut Mahkamah Konstitusi, ada pembatasan hak dan kebebasan yang diatur di dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, namun demikian, hal itu tidak dapat disalahartikan untuk membatasi pengajuan Peninjauan Kembali hanya satu kali. Sebab, pengajuan Peninjauan Kembali perkara pidana sangat terkait dengan hak asasi manusia yang paling mendasar yang menyangkut kebebasan dan kehidupan manusia. Lagipula, pengajuan Peninjauan Kembali tidak terkait dengan jaminan pengakuan, penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain.

Menurut Mahkamah Konstitusi, dalam ilmu hukum terdapat asas litis finiri oportet, yang berarti bahwa setiap perkara harus ada akhirnya. Namun asas itu terkait dengan kepastian hukum, sedangkan dalam hal keadilan dalam perkara pidana, asas itu tidak secara rigid dapat diterapkan karena dengan hanya membolehkan Peninjauan Kembali hanya satu kali, terlebih, manakala ditemukan adanya keadaan baru (novum), maka hal itu justru bertentangan dengan asas keadilan yang begitu dijunjung tinggi oleh kekuasaan kehakiman Indonesia. Hal ini sebagaimana terdapat dalam konstitusi, yaitu untuk menegakkan hukum dan keadilan (Pasal 24 ayat (1) UUD 1945). Hal ini juga sebagai konsekuensi dari asas negara hukum.

Maksud baik dari Mahkamah Konstitusi tersebut memunculkan kekhawatiran yang lain, yaitu peluang untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali putusan kasus pidana secara berkali-kali tanpa memperhatikan atau menyadari bahwa “bukti baru” yang diajukan, sesungguhnya bukan lah bukti baru. Tentunya Mahkamah Agung harus memperketat syarat permohonan Peninjauan Kembali, dengan dapat mengatur lebih lanjut substansi yang terdapat dalam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, misalnya dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung. Hal ini merupakan peraturan yang lebih memperjelas substansi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, dalam ranah hukum acara di Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya. Hal ini juga untuk menghindari salah tafsir adanya pertentangan asas kepastian hukum dan asas keadilan di dalam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, dan salah tafsir dengan mengajukan permohonan Peninjauan Kembali berkali-kali.

Mencermati hal tersebut, Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia (KHN) yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2000, yang salah satu tugasnya yaitu memberikan pendapat atas permintaan Presiden tentang berbagai kebijakan hukum yang dibuat atau direncanakan oleh pemerintah dan tentang masalah-masalah hukum yang berkaitan dengan kepentingan umum dan kepentingan nasional, memandang cukup pentingnya pembahasan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Pembahasan tersebut KHN namakan dengan tema “Antisipasi Salah Tafsir Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Peninjauan Kembali”.

Untuk melihat transkrip lengkap acara Dialog Hukum edisi ini, silakan klik "Transkrip".

Tim KHN
Tags: