Boediono : FPJP Century Kewenangan Tiga Deputi Gubernur BI
Utama

Boediono : FPJP Century Kewenangan Tiga Deputi Gubernur BI

Terungkap, Bank Century tidak melengkapi dokumen untuk pencairan FPJP.

Novrieza Rahmi
Bacaan 2 Menit
Boediono saat menjadi saksi di Pengadilan Tipikor Jakarta. Foto: RES.
Boediono saat menjadi saksi di Pengadilan Tipikor Jakarta. Foto: RES.
Wakil Presiden Boediono mengaku tidak terlibat terlalu jauh dalam proses pemberian Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek (FPJP). Selaku Gubernur Bank Indonesia (BI), Boediono hanya mendapat laporan dari satuan kerja di BI. Ada tiga Deputi Gubernur BI yang memiliki kewenangan pemberian FPJP Bank Century tersebut.

Pertama, Deputi Gubernur BI Bidang IV Pengelolaan Moneter dan Devisa Budi Mulya. Kedua, Deputi Gubernur BI Bidang VI Pengawasan Bank Umum dan Bank Syariah Siti Chalimah Fadjriah. Ketiga, Deputi Gubernur BI Bidang VII Sistem Pembayaran, Pengedaran Uang, BPR, dan Perkreditan Budi Rochadi (almarhum).

Demikian disampaikan Boediono saat menjadi saksi dalam sidang perkara korupsi Budi Mulya di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jum’at (9/5). Boediono mengatakan, pengucuran FPJP dilaporkan dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI. Ia tidak mengetahui jika sebenarnya Bank Century hanya meminta fasilitas repo aset, bukan FPJP.

“Saya tidak sampai pada tahapan administrasi seperti itu. Jadi, apakah repo aset kredit atau FPJP, itu ada pada tataran pelaksanaan administrasi. Di BI ada pembagian kewenangan dan tanggung jawab. Ada bagian-bagian, dimana RDG harus memutuskan. Tapi, pada tahap pelaksanaan, dilaksanakan Deputi yang membidangi,” katanya.

Boediono menjelaskan, saat Bank Century kalah kliring, Indonesia sedang berada dalam pusaran krisis keuangan global. Mengingat globalisasi, krisis ekonomi yang terjadi di Amerika Serikat dapat menjalar begitu cepat ke Indonesia. Situasi tahun 2008 tersebut hampir sama persis dengan situasi krisis tahun 1997-1998.

Hal itu ditandai dengan gejala-gejala, seperti likuiditas perbankan yang kering karena uang mengalir ke luar, kurs rupiah melonjak-lonjak dari Rp9.000 menjadi Rp12.000, dan pasar antar bank yang macet. Tidak ada lagi pinjaman antar satu bank ke bank lain karena mereka juga memerlukan likuiditas untuk dirinya sendiri.

Namun, lanjutnya, situasi krisis 1997-1998 lebih parah ketimbang 2008. Agar kondisi tahun 1997-1998 tidak terulang, Boediono tidak mau ada satu bank pun yang tutup. Saat kondisi krisis, penutupan bank kecil dapat merembet ke bank-bank lain. Belum lagi beredar isu mengenai bank-bank mana lagi yang mengalami kesulitan likuiditas.

Menurut Boediono, dalam situasi krisis, dimana tidak ada blanket guarantee, menutup satu bank kecil risikonya luar biasa. Seperti pada pengalaman November 1997, penutupan  bank kecil yang totalnya asetnya hanya dua persen dari total aset perbankan, menyebabkan nasabah melakukan penarikan besar-besaran (rush).

Orang-orang menarik deposito/tabungan untuk dibawa ke tempat yang lebih aman. Kepercayaan masyarakat goyah. Hingga pada Januari 1998, blanket guarantee diterapkan dan membuat kondisi tenang. “Kondisi psikologis seperti itulah yang melatarbelakangi pemberian FPJP kepada Bank Century,” ujar Boediono.

Lebih dari itu, Boediono melihat, pada 2008, sudah terjadi rush di Palembang, Pangkal Pinang, dan Surabaya. Meski tidak banyak orang antri menarik uangnya di Bank Century, penarikan besar-besaran dalam bentuk cek sudah terjadi. Penarikan tersebut mengakibatkan berkurangnya dana yang tersedia di Bank Century.

Walau begitu, Boediono mengaku FPJP merupakan solusi terakhir. Solusi pertama, BI telah mendorong supaya Surat-Surat Berharga (SSB) Bank Century bisa ditarik dan dicarikan di Indonesia. Solusi kedua, BI mencarikan investor, seperi bank-bank BUMN yang bisa menjadi pendukung likuiditas Bank Century.

Sampai detik-detik terakhir, solusi pertama dan kedua tidak bisa terlaksana. Boediono lalu mencoba menanyakan kemungkinan penggunaan Fasilitas Pendanaan Darurat (FPD) kepada Menteri Sri Mulyani melalui teleconference pada 13 November 2008. Namun, Sri Mulyani menyatakan FPD belum siap digunakan.

Akhirnya, satu-satunya jalan agar Bank Century tidak tutup, BI menggunakan instrument yang menjadi kewenangan BI. Boediono mengungkapkan, BI sebagai Lender of the Last Resort (LoLR) berwenang memberikan FPJP. Untuk itu, RDG melakukan pembahasan mengenai perubahan Peraturan Bank Indonesia (PBI).

Boediono melanjutkan, perubahan PBI itu tidak hanya ditujukan untuk Bank Century. Semua bank dapat meminta FPJP kepada BI. Namun, hanya Bank Century yang mengajukan. Tak lama setelah perubahan PBI ditandatangani Boediono, BI langsung menyetujui dan mengucurkan FPJP kepada Bank Century. 

Belakangan, timbul permasalahan. Pasca pengucuran FPJP, Bank Century ternyata belum melengkapi sejumlah persyaratan administrasi. Direktur Direktorat Pengelolaan Moneter (DPM) BI Eddy Sulaiman Yusuf menyampaikan catatan tanggal 20 November 2008 mengenai pelanggaran hukum yang dilakukan BI.

Catatan mengenai ketidaklengkapan dokumen aset Bank Century juga disampaikan Direktur Direktorat UMKM BI. Namun, Boediono mengaku dirinya tidak mengetahui catatan-catatan tersebut. Walau begitu, Boediono dapat memaklumi apa yang dilakukan rekan-rekannya di BI. Pasalnya, BI dihadapkan dalam situasi mendesak.

Lantas, siapa yang bertanggung jawab atas pelanggaran tersebut? “Saya tidak pada posisi menentukan. Tapi, perlu dicatat, pilihannya bagi rekan-rekan, bank ini tidak bisa operasi besoknya, kemudian rush, atau memberikan waktu untuk kelengkapan dokumen. Itu semua pada tataran pelaksanaan,” tutur Boediono.

Lapor SBY
Dalam rekaman RDG tanggal 16 November 2006, terungkap bahwa Boediono juga melaporkan kalah kliring Bank Century kepada Presiden SBY. Di hadapan peserta RDG, Boediono menyampaikan dirinya melaporkan kepada Presiden bahwa kalah kliring yang dialami Bank Century akan mengakibatkan risiko besar.

Ketika itu, Presiden tengah berada di luar negeri. Boediono menyatakan, Presiden memberikan arahan-arahan untuk mengambil tindakan. Jangan sampai ada dampak-dampak yang bisa mengganggu. Saat Presiden mendarat di San Francisco, Menteri Sekretariat Negara Hatta Rajasa mengecek apa yang terjadi.

Sesampainya Presiden di Washington, Boediono mengirimkan SMS kepada Hatta. “Saya sampaikan kepada beliau, intinya tidak ada bank panic. Meskipun ada beberapa hal, seperti di Palembang, tapi kecil. Kita akan melakukan langkah-langkah untuk menjaga ini, bahwa tidak ada bank panic,” kata Boediono dalam rekaman.

Masih dalam rekaman tanggal 16 November 2008, terungkap pula Direktur Audit Intern BI, Wahyu sebenarnya tidak setuju dengan pemberian FPJP terhadap Bank Century. Pasalnya, Bank Century sudah bermasalah sejak tahun 2005. Menurut Wahyu, seharusnya Bank Century sudah masuk pengawasan intensif BI sejak tahun 2005.

Pengawas bank BI menemukan banyak permasalahan, seperti SSB, valas, dan pengakuan Bank Century terhadap saldonya di tahun 2005. Bahkan, Kantor Akuntan Publik (KAP) menyatakan disclaimer pada keuangan Bank Century tahun 2005. Namun, ketika itu, Budi Rochadi meminta Wahyu membantu rekan-rekan di BI.

Kemudian, dalam rekaman tanggal 23 November 2008, salah seorang peserta rapat sempat menyinggung soal rencana pemberian keterangan pers ke media. Ia mengaku sudah meminta bantuan Persatuan Jurnalis Indonesia (PJI). Selain itu, ia mem-backing sejumlah pimpinan redaksi untuk menjaga pemberitaan terkait Bank Century.

Menjadi pertimbangan
Menanggapi keterangan Boediono, pengacara Budi Mulya, Luhut MP Pangaribuan mengatakan bahwa banyak peristiwa yang sudah terkonfirmasi. Boediono membenarkan saat memberikan FPJP telah terjadi krisis. Ia berharap keterangan Boediono menjadi pertimbangan yang baik bagi penuntut umum maupun majelis hakim.

“Jadi, ada berbarengan peristiwa. Ada krisis di satu sisi dan kasus Bank Century yang memang berantakan. Ketika ini bertemu di tanggal 13 November 2008, menjadi dilema. Bank Century diselamatkan atau dimatikan. Jadi, berapapun CAR-nya, bank central sebagai fungsi LoLR harus melakukan sesuatu,” katanya.

Dengan kata lain, Luhut melanjutkan, kebijakan yang dikeluarkan BI merupakan kebijakan untuk kepentingan yang lebih besar. Dengan diambilnya kebijakan tersebut, biaya yang dikeluarkan  lebih sedikit ketimbang menutup Bank Century. Apalagi, saat kondisi krisis, penutupan satu bank bisa menyebabkan dampak sistemik.

Lalu bagaimana dengan ketidaklengkapan dokumen FPJP? “FPJP dan kredit berbeda. Kalau kredit, pertama-tama ada jaminannya dulu, baru kredit. Itu antara bank dengan nasabahnya. Kalau ini kan antara bank sentral dengan bank. Itu kaitannya dengan sistem perbankan. Jadi, FPJPn-ya dulu, baru kemudian jaminan-jaminan,” ujar Luhut.
Tags:

Berita Terkait