Kejagung Usul Penambahan Anggaran Tunjangan Fungsional Jaksa
Utama

Kejagung Usul Penambahan Anggaran Tunjangan Fungsional Jaksa

Selama adanya UU tentang Kejaksaan, tak pernah terbit Perpres soal tunjangan fungsional jaksa.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Wakil Jaksa Agung Andi Nirwanto. Foto: SGP
Wakil Jaksa Agung Andi Nirwanto. Foto: SGP
Anggaran Kejaksaan pada tahun 2015 telah ditetapkan sebesar Rp4,1 triliun. Angka itu mengalami kenaikan sebesar Rp292 miliar dari anggaran periode 2014. Namun, setelah dialokasikan ke dalam delapan program, jumlah itu dirasa kurang untuk peningkatan tunjangan jabatan fungsional jaksa. Oleh sebab itu, Kejaksaan mengusulkan tambahan anggaran dalam rangka peningkatan tunjangan jabatan fungsional jaksa.

“Terkait dengan usulan peningkatan tunjangan fungsional jaksa sebagaimana penjelasan kejaksaan memerlukan tambahan anggaran sebesar Rp2.075.511.400.000,” ujar Wakil Jaksa Agung Andi Nirwanto dalam rapat kerja dengan Komisi III di Gedung DPR, Senin (9/6).

Menurutnya, usulan kenaikan tunjangan jabatan fungsional jaksa secara resmi telah diterbitkan surat Jaksa Agung No: R-029/A/CR.4//4/2014 tertanggal 14 April 2014. Dikatakan Andi, dari 123 rumpun jabatan fungsional PNS, tunjangan jabatan fungsional jaksa menjadi satu-satunya tunjangan yang belum diperbaharui sejak UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan terbit. Sedangkan tunjangan jabatan terhadap 122 PNS telah diperbaharui.

Dikatakan Andi, tunjangan fungsional jaksa merupakan amanat Pasal 17 UU No. 16 Tahun 2004. Pasal 17 menyatakan, “Ketentuan mengenai tunjangan jabatan fungsional jaksa diatur dengan Peraturan Presiden”. Sejalan dengan perkembangan keadaan masyarakat dan reformasi hukum dan birokrasi, belum juga terbit Peraturan Presiden (Perpres).

“Tunjangan ini sebagai profesi baik sebagai penuntut umum maupun penyidik. Karena sudah 14 tahun belum pernah dilaksanakan,” ujarnya.

Maka dari itu, Kejaksaan meminta Presiden menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) No.158 Tahun 2000 tentang Tunjangan Jabatan Fungsional Jaksa. Namun, Andi menilai Keppres tersebut sudah tidak sesuai dengan situasi dan kondisi yang menuntut profesionalisme dalam penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi dan wewenang jabatan jaksa.

“Reformasi birokrasi saat ini menuntut kesiapan para jaksa dalam memberikan pelayanan prima kepada stakeholder yang ada dalam sistem peradilan pidana, khususnya masyarakat pencari keadilan,” katanya.

Mantan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) itu menambahkan,  kenaikan kebutuhan layak menjadi pertimbangan usulan penambahan anggaran, khususnya peningkatan tunjangan jabatan fungsional jaksa. Hal lainnya, kenaikan inflasi dan melonjaknya harga bahan kebutuhan pokok dan kian meroketnya biaya yang mesti dikeluarkan dalam pemenuhan kebutuhan sekunder.

Pertimbangan lainnya, lanjut Andi, kenaikan penghasilan para hakim menjadi komponen tunjangan yang berkaitan dengan pemenuhan standar hidup layak. “Oleh karena itu, tambahan anggaran untuk meningkatkan tunjangan jabatan fungsional jaksa agar kebutuhan sebagai pemegang jabatan jaksa dapat dicukupi oleh negara,” ujarnya.

Andi juga membandingkan dengan penghasilan yang diterima jaksa di Kejaksaan dengan di KPK. Menurutnya, DPR perlu mempertimbangkan agar usulan penambahan anggaran sebesar Rp2 triliun itu dapat segera dilakukan pembahasan oleh Komisi III. “Kemudian ada disparitas. Misalnya jaksa yang di kejaksan dan yang di luar (KPK), ini perlu dipertimbangkan,” katanya.

Anggota Komisi III Sarifuddin Sudding menuturkan adanya perbedaan penghasilan jaksa di Kejaksaan dengan KPK bukan semata penghasilan. Tetapi lantaran internal atasan di kejaksaan terlampau mengintervensi kerja jaksa di level bawah. Menurutnya banyaknya jaksa yang melakukan komunikasi dengannya.

Berbeda halnya dengan jaksa yang bertugas di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), mereka jauh lebih bebas bekerja dan berinteraksi dalam penegakan hukum. “Jadi jangan dianggap jaksa di KPK sebatas penghasilan, tetapi otonomi mereka yang diambil oleh kejaksaan,” ujarnya.

Anggota Komisi III lainnya, Nasir Djamil mengatakan akan melakukan pembahasan di internal komisi. Namun, perlu diberikan sejumlah catatan. Misalnya, pembinaan karir dan promosi harus dilakukan secara transparan sesuai dengan harapan bersama. Faktanya, di lapangan masih terjadi perbedaan perlakuan.

“Ada yang masuk kriteria dan masuk penilaian, tetapi tidak lolos. Sebaliknya, yang tidak masuk penilaian malah masuk,” ujarnya.

Menurutnya, perlu dibuat aturan agar penilaian dapat diberikan secara transparan. Dengan begitu, kejaksaan setidaknya akan dipercaya oleh kalangan internal. Ia menilai, masyarakat tidak akan percaya dengan institusi kejaksaan jika kalangan internal kejaksaan sudah tidak menaruh kepercayaan terhadap korps adhiyaksa.

Namun prinsipnya, Nasir sepakat adanya penambahan anggaran untuk peningkatan tunjangan fungsional jaksa. “Kita sepakat dengan remunerasi Rp2 triliun, ini harus diapresiasi dalam menjamin tupoksi. Oleh karena itu sistem pembinaan karir harus baik ke depan. Kalau sudah dipercaya internal msyarakat akan percaya,” pungkas politisi Partai Keadilan Sejahtera itu.
Tags:

Berita Terkait