Prof. Dr. Jan Michiel Otto:
Ahli Hukum Indonesia Harus Sering Kaji Putusan
Profil

Prof. Dr. Jan Michiel Otto:
Ahli Hukum Indonesia Harus Sering Kaji Putusan

Di Indonesia, demokrasi telah mempengaruhi semua proses hukum legislasi dalam banyak hal.

Oleh:
ALI
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Reformasi di Indonesia sudah berlangsung 16 tahun. Di rentang waktu itu, Indonesia terus berupaya menjadi negara hukum sebagaimana disebutkan dalam amandemen UUD 1945. Ada pencapaian yang bisa diapresiasi, tetapi ada juga tantangan yang masih harus dihadapi.

Hukumonline menggali pandangan Direktur Van Vollenhoven Institute for Law, Governance and Development, Prof. Dr. Jan Michiel Otto seputar perkembangan hukum di Indonesia sejak Orde Baru hingga era Reformasi. Jan Michiel Otto cukup sering melakukan penelitian mengenai hukum Indonesia di dua era itu.

Apalagi, lembaga yang dipimpinannya, Van Vollenhoven Institute (lembaga penelitian di bawah Leiden Law School) juga cukup sering mengkaji hukum di Indonesia. Maklum, nama institusi itu diambil dari ahli hukum Belanda, Van Vollenhoven, yang disebut-sebut sebagai “Bapak Hukum Adat” oleh komunitas hukum Indonesia.

Ditemui di sela-sela kuliah umum Dekan Leiden Law School Prof. Rick Lawson di Erasmus Huis Jakarta, Rabu (4/6), Prof. Jan Michiel Otto memaparkan pandangannya tersebut dalam wawancara khusus dengan hukumonline. Di dalam wawancara, Prof Jan Michiel Otto menggunakan bahasa Inggris, walau dia juga sempat sedikit menggunakan istilah bahasa Indonesia.

Apa pendapat Anda tentang perkembangan Hukum Indonesia setelah era reformasi?
Jadi, kamu sedang berbicara kepada orang yang sudah tua (Prof Jan tertawa). Karena, saya mulai melakukan pekerjaan saya di Indonesia sejak Orde Baru. Dan, saat itu, hukum benar-benar dibentuk oleh pemikiran Orde Baru. Jika kita membandingkan sekarang dan kemudian, ada perbedaan besar. Karena sekarang demokrasi telah mempengaruhi semua proses hukum legislasi dalam banyak hal.

Beberapa masalah masih ada di sana, tetapi juga beberapa masalah utama telah hilang. Masalah utama yang saya maksud adalah dulu di Orde Baru, sulit sekali bagi ahli hukum untuk mengekspresikan mereka secara bebas. Jadi, jika kamu tidak mengekpresikan kamu sendiri secara bebas sebagai ahli hukum, bagaimana bisa kamu membuat hukum?

Dulu, kamu tak bisa mendiskusikan masalah atau isu-isu penting, tetapi sekarang itu semua sudah bisa didiskusikan. Sekarang ada banyak analisis-analisis bagus di Indonesia oleh orang-orang Indonesia. Dan kebebasan berbicara telah juga memberikan beberapa posisi berbeda dalam semua hal.

Tapi, ada banyak yang berpendapat bahwa di era reformasi terlalu banyak hukum atau undang-undang yang dibuat, sehingga dianggap minim kepastian hukum. Apa Anda melihat ini sebagai masalah juga?
Saya melihat ini dalam dua level. Kepastian hukum secara hukum dari segi hukum. Ini kadang-kadang menjadi masalah. Yakni, kasus yang sama, diputus pengadilan yang berbeda, dan menghasilkan putusan yang berbeda.

Saya berpendapat satu langkah perbaikan yang harus kita lihat adalah, sudah ada banyak kasus-kasus (putusan-putusan pengadilan) yang tersedia di internet. Dulu, sangat sulit untuk memperoleh putusan-putusan itu bagaimanapun caranya. Dulu susah, kini semuanya sudah ada di internet.

Pertanyaan selanjutnya adalah apa yang terjadi dengan putusan-putusan yang ada di internet ini? Saya harus mengatakan bahwa ini tantangan bagi para ahli atau sarjana hukum untuk secara aktual menganalisis putusan-putusan pengadilan, dan juga menyetujuinya atau mengkritiknya. Menyetujui bila memang putusan-putusan itu bagus, benar, dan konsisten. Jika putusan-putusan itu jelek, maka kritiklah secara ilmiah dengan membuat anotasi.  

Dalam pandangan saya, peran dan tantangan ahli-ahli hukum Indonesia ini adalah membuat “text book” yang baru untuk mahasiswa, yang tidak hanya mengatakan apa itu hukum, tetapi juga membuat referensi ke putusan-putusan pengadilan. Bantuan para ahli hukum ini dengan “text book” mereka ini, saya pikir cukup penting untuk menghasilkan kepastian hukum di Indonesia.

Masalahnya, di Indonesia, beberapa ahli hukum masih menggunakan dikotomi civil law dan common law. Mempelajari putusan pengadilan adalah tradisi common law, itu bukan tradisi Indonesia (yang menggunakan civil law). Bagaimana komentar Anda terhadap pendapat ini?
Saya pikir perbedaan antara common law dan civil law di Eropa sudah semakin mengecil. Dan Sistem hukum yang dianut Belanda berada di antara continental (civil law) dan common law. Karena di sistem kami, pentingnya putusan pengadilan cukup tinggi.

Mereka mengatakan bahwa common law ada judge-made law (hakim yang membuat hukum), dan civil law adalah hukum dibuat oleh legislator. Tapi di sistem Belanda, apa yang Saya pelajari ketika menjadi mahasiswa, saya juga belajar banyak case law (kasus-kasus atau putusan pengadilan). Saya punya contoh ketika mengambil kuliah “Perbuatan Melawan Hukum” (onrechtmatige daad). Ini adalah bagian terpenting dalam hukum dan ini diciptakan oleh Mahkamah Agung, bukan oleh legislator.

Legislator membuat undang-undang (hukum), yang tak cukup menjelaskan apa itu “Melawan Hukum”? Dan, MA akhirnya mendefinisikannya, yang secara mendasar bertentangan dengan pandangan asli para legislator itu. Jadi, saya tidak melihat bahwa masalah memilih civil law dan common law sebagai masalah yang besar.

Beberapa dosen atau profesor di Fakultas Hukum di Indonesia mengatakan bahwa sistem hukum kita mengikuti sistem hukum Belanda, yakni civil law. Ini menjadi menarik ketika Anda mengatakan bahwa Anda juga belajar cukup banyak case law ketika menjadi mahasiswa?   

Oh iya, kami harus belajar case law juga, bahkan cukup banyak. Jadi, tidak ada perbedaan yang mendasar. Saya bisa melihat ini memang cukup sulit. Bagi beberapa orang Indonesia, ketika mereka mendapat beasiswa dan belajar hukum ke Australia, Inggris, Amerika Serikat, lalu mereka kembali. Mereka telah belajar banyak case law (putusan pengadilan), tapi dari sistem yang tidak benar-benar cocok dengan Indonesia. Itu memang bisa jadi masalah, ketika kamu mengimplantasi dari sistem lain yang tidak cukup cocok dengan sistem yang ada di sini.

Contohnya, ketika saya mempelajari hukum lingkungan hidup dengan ICEL (Indonesian Center for Environmental Law), kami harus berkolaborasi dengan Kanada. Di Kanada ada sesuatu yang disebut sebagai “Environmental Inpact Assessment” (AMDAL). Dan di Belanda, kami punya “environmental license” yang memilki tujuan sama untuk mengkontrol kualitas standar lingkungan hidup.

Jika kamu sudah punya “environmental license”, kamu tak perlu lagi punya “environmental impact assessment” untuk tujuan yang sama. Jadi, itu harus diharmonisasikan secara hati-hati, tetapi ada banyak jenis sistem civil law seperti Perancis, Jerman, Cina, dan Jepang. 

Jadi, intinya, kita seharusnya tak bisa menggunakan “Sistem Civil Law” sebagai alasan mengapa kita tidak mau mempelajari case law (putusan pengadilan)?
Tidak. Tidak. Sistem Civil Law apapun yang tepat, juga jika kamu melihat sistem civil law sistem di Afrika Utara, misalnya Mesir, mereka juga mengakui sangat pentingnya peran MA dan Mahkamah Konstitusi.
Tags:

Berita Terkait