Komisi III Belum Bahas Revisi UU Perlindungan Saksi dan Korban
Utama

Komisi III Belum Bahas Revisi UU Perlindungan Saksi dan Korban

DPR dinilai kurang serius, padahal sudah memiliki amunisi untuk membahas.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Wakil Ketua Komisi III DPR al Muzzammil Yusuf. Foto: RES
Wakil Ketua Komisi III DPR al Muzzammil Yusuf. Foto: RES
DPR dan pemerintah belum membahas Revisi UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (PSK). Hal tersebut belum dapat dilakukan lantaran Komisi III perlu menjaring masukan dari masyarakat. Itu sebabnya, pembahasan dilakukan pada masa sidang berikutnya. Hal ini disampaikan Wakil Ketua Komisi III, Al Muzzamil Yusuf, kepada hukumonline beberapa waktu lalu.

Tiga daerah yang akan dikunjungi Komisi III adalah Aceh, Kalimantan Timur dan Nusa Tenggara Barat. Menurut Muzzamil, jika sudah mendapat masukan dari masyarakat, setidaknya anggota dewan telah memiliki amunisi dalam pembahasan dengan pemerintah. “Setelah kita mendapat masukan mungkin memang tidak pada sidang ini ya. Kalau sekarang kita mencari masukan dulu, menyelesaikan masukan, menyelesaikan DIM, baru persidangan setelah reses nanti,” ujarnya.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera itu berpendapat, dari sejumlah fraksi yang ada di komisi yang membidangi hukum, tidak terdapat konflik terkait dengan revisi UU tersebut. Sebaliknya, seluruh fraksi mendukung penuh perubahan agar UU No.13 Tahun 2006 menjadi lebih kuat. Dengan begitu, LPSK sebagai lembaga yang memberikan perlindungan kepada saksi dan korban dapat dengan leluasa melalui kewenangan yang luas.

Muzzamil mengaku optimis dengan penyelesaian pembahasan revisi UU tersebut. Pasalnya, jumlah DIM yang ada tidaklah terlampau banyak seperti halnya RKUHAP maupun RKUHP. Menurutnya, pembahasan Revisi UU PSK menjadi prioritas di komisinya. “Jadi optimis selesai, dan yang disepakati teman-teman (di Komisi III, red) yang mungkin selesai itu Revisi UU PSK,” ujarnya.

Anggota Komisi III Eva Kusuma Sundari menambahkan, dari sekian RUU yang menjadi concern komisinya, ia yakin hanya Revisi UU PSK yang dapat dirampungkan. Menurutnya, UU PSK dinilai tidak terlampau menemui banyak kesulitan. Lagipula, pasal yang diubah tidaklah terlampau banyak.

“Tidak seperti RKUHAP dan RKUHP yang bongkar pasangnya radikal. Aku agak pede dan pantas diprioritaskan untuk digas,” katanya.

Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu meyakini tidak akan ada banyak perdebatan saat pembahasan dengan pemerintah. Apalagi, seluruh fraksi telah mengamini akan penguatan perlindungan saksi dan korban, serta kelembagaan LPSK.

Komisioner LPSK Edwin Partogi menyayangkan pembahasan tidak dilakukan pada masa sidang kali ini. Padahal, revisi tersebut penting dan sebagai pijakan dalam memberikan perlindungan saksi dan korban, begitu pula whistleblower dan justice collabolator. “LPSK berharap DPR memberi prioritas untuk selesaikan revisi UU PSK,” imbuhnya melalui pesan pendek kepada hukumonline, Jumat (20/6).

Edwin menilai dengan rampungnya pembahasan revisi tersebut, setidaknya dapat mempertegas negara dalam memenuhi hak saksi, korban, whistleblower dan justice collabolator. Ia menilai segala persoalan yang muncul selama ini dalam pemberian perlindungan saksi dan korban dapat diselesaikan melalui revisi UU tersebut.

Tidak serius
Terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Supriyadi Widodo Eddyono, menilai ada ketidakseriusan dan inkonsistensi DPR, khususnya Komisi III terhadap pembahasan RUU di masa sidang IV tahun 2013-2014. Menurutnya, dalam agenda, semestinya sudah masuk dalam penyerahan DIM oleh sejumlah fraksi. “Ini bukannya lagi menjaring aspirasi ke daerah, yang ICJR rasa kurang beralasan. Apalagi jika melakukan studi banding ke luar negeri,” katanya.

Menurutnya, bahan, data dan aspirasi yang dibutuhkan dalam pembahasan sudah lebih dari cukup. Apalagi, Komisi III telah mengundang sejumlah stakeholder terkait dengan Revisi UU PSK. Tak kalah penting, sejumlah rekomendasi dari LPSK sudah dikantongi Komisi III.

“Hal ini berarti sudah ada bahan yang dapat dibahas tinggal kesiapan, keseriusan dan konsistensi yang harus dituntut dari anggota DPR apabila ingin segera merampungkan rivisi UU No.13 Tahun 2006,” katanya.

Lebih jauh, Supriyadi berpandangan tidak ada jaminan yang diberikan anggota DPR terhadap penyelesaian revisi UU tersebut. Menurutnya, DPR terkesan kurang serius jika berdalih pasal yang direvisi tidak terlampau banyak. Maka dari itu, kata Supriyadi, koalisi masyarakat sipil khawatir terhadap kondisi saat ini.

“Karena ada juga kesan DPR hanya akan membahas hal-hal yang mereka anggap sebagai prioritas dari sebahagian revisi, bukan keseluruhan revisi UU PSK. Jika memang ini yang di rencanakan oleh DPR maka revisi akan menjadi revisi setengah hati, dan koalisi mendesak agar pembahasan harus dilakukan terhadap seluruh subtansi secara serius, tranparan dan berkualitas,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait