Penetapan Status Daerah Konflik Tak Bisa Didelegasikan
Berita

Penetapan Status Daerah Konflik Tak Bisa Didelegasikan

Seharusnya menjadi tanggung jawab Presiden.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Penetapan Status Daerah Konflik Tak Bisa Didelegasikan
Hukumonline
Penetapan status keadaan konflik skala kabupaten/kota yang ditetapkan oleh bupati berdasarkan Pasal 16 Undang-Undang Penanganan Konflik Sosial dinilai inkonstitusional (melanggar konstitusi). “Penetapan keadaan bahaya, salah satunya status keadaan konflik, tidak dapat didelegasikan,” kata Irmanputra Sidin saat menjadi ahli dalam sidang lanjutan pengujian UU No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial (PKS) di ruang sidang pleno Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (15/7).

Irman menuturkan jika Polri tak mampu mengendalikan konflik dan memberikan jaminan keamanan atau ketertiban di tingkat kabupaten/kota, penetapan status keadaan konflik tak bisa didelegasikan kepada bupati atau walikota. Sebab, tanggung jawab konstitusional akan keamanan dan ketertiban tertinggi bukan pada bupati/walikota melainkan pada presiden.

Pandangan Irman berseberangan dengan argumen pemerintah pada sidang terdahulu, bahwa pendelegasian wewenang kepada bupati/walikota sah dan konstitusional.

Karena itu, Presiden yang harus kembali mengambil alih tanggung jawab atas konflik tersebut sebagai otoritas konstitusional yang telah dilekatkan UUD 1945. “Kewenangan presiden menetapkan status darurat banyak ditemukan pada ayat konstitusi,” kata Irman di hadapan sidang pleno yang diketuai Hamdan Zoelva.

Dia menegaskan dengan menyandarkan kekuasaan pada presiden karena presiden bisa mengerahkan TNI secara mudah untuk membantu Polri melakukan penanggulangan konflik di daerah. “Dengan penetapan status keadaan konflik oleh presiden, kontruksi yang terbangun bukan kepala daerah meminta bantuan kekuatan TNI kepada pemerintah,” kata ahli yang dihadirkan pemohon ini. Ia mengkritik rumusan Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2) UU PKS.

Menurut Irman, inkontitusional Pasal 16 UU PKS berimplikasi pada inkonstitusional pasal-pasal lain. Misalnya, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 23 ayat (1), Pasal 24 ayat (1), Pasal 26, Pasal 28 sepanjang menyangkut frase “skala nasional”. Juga Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 33 ayat (1) dan (2), Pasal 33 ayat (3) sepanjang frasa “skala nasional”, Pasal 33 ayat (4) sepanjang frasa “bantuan penggunaan” dan Pasal 34 dan Pasal 35 UU PKS sepanjang frasa “bantuan penggunaan”.

Irman berpendapat ketidaktepatan doktrin pembentukkan UU dalam salah satu materi, muatan ayat atau pasal bisa mengakibatkan kekeliruan pijakan terhadap konstitusi. Bahkan mungkin secara nyata melanggar konstitusi. “Oleh karena itu, penetapan status konflik skala kabupaten atau kota yang ditetapkan Bupati Walikota sesungguhnya inkonstitusional,” tegasnya.

Peneliti senior LIPI, Indria Samego, mengungkapkan terlepas dari pelimpahan kewenangan penetapan status darurat, baginya paling penting saat ini bagaimana membangun stabilitas keamanan yang tidak berpotensi menimbulkan konflik. Sebab, kondisi penanganan keamanan di daerah sungguh memprihatinkan.

“Kekerasan akibat pemilihan kepala daerah secara langsung, serta konflik antar TNI dan Polri akan berdampak negatif terhadap persatuan bangsa. Bukan tidak mungkin, kecenderungan negatif berimbas pada buruknya integritas nasional dan stabilitas politik,” ujarnya.

Menurutnya, jika negara tidak mampu menyelesaikan masalah membangun keamanan yang baik, tidak mustahil akan mendorong kekuatan lain ikut campur. “Akhirnya terjadi internasionalisasi keamanan di Tanah Air kita sendiri,” tukasnya.

Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil dan anggota masyarakat - Imparsial, YLBHI, HRWG, dan Anton Ali Abbas - mempersoalkan Pasal 16 dan Pasal 26 UU Penanganan Konflik Sosial terkait penetapan keadaan konflik di tingkat kabupaten/kota oleh bupati/walikota. Ketentuan penetapan keadaan konflik itu dinilai tak sejalan dengan kaidah penetapan keadaan darurat menurut UUD 1945.

Para pemohon melihat kewenangan menetapkan keadaan darurat ada pada presiden sebagai otoritas yang menggerakkan semua perangkat negara termasuk mengambil alih fungsi yudikatif dan legislatif seperti diamanatkan Pasal 12 UUD 1945. Padahal, negara pun sudah memiliki perangkat peraturan mengenai syarat-syarat dan akibat keadaan bahaya seperti diamanatkan UU No. 23/PRP/1959 tentang Keadaan Bahaya.
Tags:

Berita Terkait