Penetapan Keadaan Konflik Daerah Dinilai Inkonstitusional
Berita

Penetapan Keadaan Konflik Daerah Dinilai Inkonstitusional

Pemohon diminta menjelaskan kerugian konstitusional.

ASH
Bacaan 2 Menit
Penetapan Keadaan Konflik Daerah Dinilai Inkonstitusional
Hukumonline
Majelis Panel MK menggelar sidang pengujian Pasal 16 dan Pasal 26 UU No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial yang dimohonkan Koalisi Masyarakat Sipil diantaranya Imparsial, YLBHI, HRWG, Anton Ali Abbas. Mereka menilai ketentuan yang penetapan keadaan konflik di tingkat kabupaten/kota itu tak sejalan dengan kaidah penetapan keadaan darurat.

“Pasal 16 dan Pasal 26 UU Penanganan Konflik Sosial bertentangan dengan Pasal 12 UUD 1945 atau inkonstitusional,” kata salah satu kuasa hukum para pemohon, Wahyudi Jafar dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang diketuai Anwar Usman di ruang sidang MK, Kamis (13/2).

Pasal 16 menyebutkan “Status Keadaan Konflik skala kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) ditetapkan oleh bupati/wali kota setelah berkonsultasi dengan pimpinan DPRD kabupaten/kota.”

Pasal 26 menyebutkan “dalam Status Keadaan Konflik skala kabupaten/kota, bupati/wali kota dapat melakukan : a. pembatasan dan penutupan kawasan Konflik untuk sementara waktu; b. pembatasan orang di luar rumah untuk sementara waktu; c. penempatan orang di luar kawasan Konflik untuk sementara waktu; dan d. pelarangan orang untuk memasuki kawasan Konflik  atau keluar dari kawasan Konflik untuk sementara waktu.”

Wahyudi mengingatkan kewenangan untuk menetapkan keadaan darurat adalah presiden yang memiliki otoritas menggerakkan semua perangkat negara termasuk mengambil alih fungsi yudikatif dan legislati seperti diamanatkan Pasal 12 UUD 1945. Negara pun sudah memiliki perangkat peraturan mengenai syarat-syarat dan akibat keadaan bahaya seperti diamanatkan UU No. 23/PRP/1959 tentang Keadaan Bahaya.

“Status keadaan darurat hanya boleh dikeluarkan oleh presiden untuk periode waktu tertentu,” kata Wahyudi.

Dia melihat unsur-unsur keadaan konflik dalam Pasal 12 dan Pasal 26 UU Penanganan Konflik Sosial, status keadaan konflik memiliki kualifikasi yang sama dengan penetapan status keadaan darurat/bahaya itu. Karena itu, tidak tepat memberikan kewenangan penetapan status keadaan darurat kepada bupati/walikota karena bertentangan dengan Pasal 12 UUD 1945.

“Pasal 16 dan Pasal 26 UU Penanganan Konflik Sosial, kebablasan dalam pendelegasian kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, sehingga bertentangan dengan Pasal 18 ayat (5) UUD 1945. Karenanya para pemohon minta MK membatalkan kedua pasal itu,” pintanya.

Menanggapi permohonan, Anggota Majelis Panel Patrialis Akbar menilai uraian permohonan cukup jelas. Namun, uraian syarat-syarat kerugian konstitusional para pemohon mesti dijelaskan dalam permohonan ini. “Uraian kerugian konstitusional ini harus dijelaskan dalam bagian legal standing, kerugiannya itu dimana terhadap berlakunya UU itu?”

Panel lainnya, Harjono menilai permohonan menyamakan antara penetapan status keadaan konflik dengan penetapan status keadaan darurat/bahaya. Karenanya, pemohon harus bisa menjelaskan kapan suatu daerah dapat diberlakukan tindakan militer atau kepolisian? “Agar bisa dibedakan keduanya,” kata Harjono.

Anwar Usman menegaskan agar permohoan bisa menjelaskan kerugian konstitusional para pemohon dan fakta yang terjadi di lapangan terkait penetapan keadaan konflik dan darurat itu oleh presiden, seperti peristiwa keadaan darurat di Aceh. “Ini mesti dielaborasi lebih lanjut. Untuk itu, kalau ada rencana memperbaiki bisa diperbaiki dalam waktu 14 hari,” katanya.
Tags:

Berita Terkait