MK Diminta Perjelas Penetapan Kerugian Negara
Berita

MK Diminta Perjelas Penetapan Kerugian Negara

Menguji boleh tidaknya perwakilan BPK menetapkan kerugian negara.

ASH
Bacaan 2 Menit
MK Diminta Perjelas Penetapan Kerugian Negara
Hukumonline
Mahkamah Konstitusi (MK) diminta memperjelas penetapan kerugian negara dalam perundang-undangan. Terutama makna keuangan dalam Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 34 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Pasal 11 dan 13 UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

Permintaan itu disampaikan Faisal, seorang warga negara Indonesia, yang tersangkut kasus korupsi di Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Pasal-pasal itu dinilai merugikan pemohon karena subjek dan objek kerugiannya tidak jelas. “Pasal-pasal itu merugikan atau berpotensi merugikan pemohon, karena subjek dan mekenisme penetapan kerugian negara tidak jelas,” kata kuasa hukum pemohon, Arta Gunawan.

Sidang pemeriksaan permohonan ini digelar Rabu (16/7), oleh majelis panel Ahmad Fadlil Sumadi, Wahiduddin Adams dan Arif Hidayat.

Pasal 10 ayat (2) UU BPK menyebutkan penilaian kerugian keuangan negara dan/atau penetapan pihak yang berkewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan BPK. Pasal 13 UU Pemeriksaan dan Pengelolaan Tanggung Jawab Negara menyebutkan pemeriksa dapat melaksanakan pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana.

Sebelumnya, pemohon telah ditetapkan sebagai tersangka terkait Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) pengelolaan keuangan negara pada Dinas PU Kabupaten Deli Serdang Tahun Anggaran 2008, 2009, dan 2010. Jaksa menyidik perkara ini berdasarkan alat bukti ikhtisar LHP tersebut. Menurut pemohon penetapan nilai kerugian negara yang paling berhak adalah BPK (bukan perwakilan BPK). Nantinya, penetapan nilai kerugian itu menjadi alat bukti kerugian negara.

Pemohon  meminta agar MK membuat tafsir atas  frasa “dengan keputusan BPK” dalam Pasal 10 ayat (2) UU BPK. Menurut pemohon, BPK kini telah mempunyai perwakilannya di daerah. Karenanya, pemohon meminta penjelasan siapa yang mempunyai wewenang untuk menetapkan kerugian negara dan bagaimana prosedurnya? Pasal itu dinilai mutitafsir yang menimbukan ketidakpastian dan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

“Siapa yang menentukan kerugian? Bagaimana mekanisme ada tidaknya kerugian Negara? Ditetapkannya dengan apa: surat keputusan atau apa? Batasannya ditetapkan oleh BPK, atau perwakilan?” kata Arta Gunawan mempertanyakan.

Pemohon juga menguji Pasal 13 UU Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung jawab Keuangan Negara yang menyatakan BPK dapat melaksanakan pemeriksaan investigatif untuk memngungkap ada tidaknya kerugian negara. Menurut pemohon banyak pemeriksaan yang bukan hasil dari pemeriksaan investigatif termasuk kasus yang dialami pemohon.

Majelis panel memberikan beberapa nasihat atas materi permohonannya. Misalnya, Arief Hidayat mengkritik permohonan yang diajukan pemohon karena terdapat pasal-pasal yang diuji, tetapi tidak relevan dengan materi pokok permohonan. “Saya melihat pasal-pasal yang diujikan pemohon, tetapi ada pasal-pasal yang terlalu jauh jangkauannya dengan permasalahan yang sedang diuji,” kata Arif.

Dia menyarankan agar Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 tidak perlu dimasukkan menjadi pasal batu dalam permohonan. “Sebenarnya yang dikehendaki pemohon adalah hanya pengujian Pasal 10 ayat (2) UU BPK. Ini perlu dipikirkan untuk diperbaiki,” kata Arif menyarankan.
Tags: