Yusril: MK Bukan Lembaga Kalkulator
Berita

Yusril: MK Bukan Lembaga Kalkulator

Sidang sengketa pilpres bukan persoalan perselisihan angka-angka belaka.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Yusril Ihza Mahendra hadir di sidang lanjutan PHPU sebagai ahli dari Pemohon, Jumat (15/8). Foto: RES
Yusril Ihza Mahendra hadir di sidang lanjutan PHPU sebagai ahli dari Pemohon, Jumat (15/8). Foto: RES
Penggunaan Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb) alias penggunaan hak pilih dengan KTP atas dasar domisili, ruang yang harus dibuka untuk menjamin hak substansi demokrasi dari warga negara lantaran tak terdaftar dalam DPT. Sebab, pada hakikatnya munculnya istilah DPKtb untuk mengantisipasi warga negara yang dimungkinkan tidak dapat menggunakan hak pilihnya dalam Pilpres 2014.   

Pandangan itu disampaikan mantan Hakim Konstitusi Harjono saat dimintai keterangannya sebagai ahli dari KPU dalam sidang lanjutan sengketa Pilpres di ruang sidang MK, Jum’at (15/8). KPU juga menghadirkan keterangan Guru Besar Politik Unair Prof Ramlan Surbakti dan Guru Besar UI Prof Erman Rajagukguk yang disampaikan secara tertulis.

Selain KPU, pihak pemohon menghadirkan Prof Yusril Ihza Mahendra, Irman Putra Sidin, Margarito Kamis, Said Salahudin, Marwah Daud Ibrahim. Sementara. Sementara pihak terkait menghadirkan pakar hukum tata negara Prof Saldi Isra dan mantan Ketua Bawaslu Bambang Eka Cahya.   

Ditegaskan Harjono penggunaan DPKTb satu nomenklatur yang harus diadakan untuk menjamin dan memfasilitasi hak pilih warga negara yang terhalang karena persoalan DPT. Terlebih, DPKtb amanat putusan MK No. 102/PUU-VII/2009 terkait pengujian UU 42 Tahun 2008 tentang Pilpres yang membolehkan penggunaan KTP dan passport dalam Pemilu yang tidak terdaftar dalam Pemilu.

“Itulah inti putusan MK, apakah itu (DPKtb) dapat disamakan dengan unsur pelanggaran  terstruktur, sistematis, dan massif (TSM) untuk memenangkan salah satu pasangan calon?” kata Harjono bertanya.   

Menurut dia, penggunaan DPKtb bukan dilandasi untuk memenangkan satu kontestan tertentu sebagai sebuah kecurangan. Sebab, belum bisa dipastikan pemilih yang menggunakan DPKtb memilih konstestan yang mana? “Pengaruhnya terhadap perolehan pasangan calon tertentu, no one knows karena ada di bilik suara (rahasia, red). Artinya, itu tidak bisa dikatakan menguntungkan salah satu pasangan tertentu,” tegasnya.    

Hal senada disampaikan Saldi Isra yang berpendapat setiap warga negara yang tak terdaftar dalam DPT tidak ada alasan bagi penyelenggara pemilu membatasi jumlahnya.  Selama pemilih dengan KTP dan masih tersedianya surat suara di TPS, wajib hukumnya penyelenggara pemilu memfasilitasi mereka untuk menggunakan hak pilihnya tanpa melihat jumlah surat cadangan kurang, sama, atau lebih.  

Justru ketika penyelenggara tak mengizinkan pemilih yang tidak terdaftar di DPT yang memenuhi syarat penggunaan KTP atau paspor, tindakan itu dapat dikualifisir sebagai tindakan menghalang-halangi hak seseorang untuk memilih. “Jadi, jika banyak jumlah DPKTb secara nasional melebihi jumlah surat suara cadangan sebagai pelanggaran TSM dalil yang tidak logis,” kata Saldi.

Merujuk pengalaman penyelesaian sengketa pemilu di MK, pemungutan suara ulang (PSU) hanya jika terbukti pelanggaran yang bersifat TSM yang berdampak/mempengaruhi hasil atau keterpilihan pasangan calon. Lewat putusannya, MK telah memberi definisi TSM dilekatkan pada pelanggaran yang terencana atau didesain sejak semula yang dilakukan dengan keterlibatan aparatur negara termasuk penyelenggara pemilu (berjenjang) dan pelanggaran tersebut dilakukan secara meluas, bukan sporadis (lokal).  

“Jika dalil pemohon benar jumlah suara tetap tidak signifikan mempengaruhi hasilPilpres. Jika dihitung total jumlah pemilih dalam DPKTb 2,16 persen dari total suara atau sekitar 2,9 juta suara. Jumlah itu tidak mencapai selisih perolehan suara antara pasangan Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK yang terpaut sekitar 8,4 juta suara.”

Sementara ahli pemohon, Prof Yusril Ihza Mahendra mengingatkan agar MK jangan menjadi lembaga kalkulator dengan menetapkan perolehan suara benar atas dasar pelanggaran yang bersifat TSM. Dia menyarankan agar MK bisa memutus perkara ke arah yang lebih substansial. Seperti, MK Thailand yang memutuskan apakah sebuah pemilu itu konstitusional atau tidak.

“Jadi, bukan persoalan perselisihan angka-angka belaka. Masalah substansial dalam Pemilu sesungguhnya adalah terkait dengan konstitusional dan legalitas pelaksanaan pemilu itu sendiri,” kata Yusril.

Menurut Yusril hal yang perlu menjadi pertimbangan MK adalah aspek legalitas pelaksanaan pemilu secara adil dan bijaksana dilihat dari perspektif hukum tata negara, selain konstitusi. Sebab, konstitusi menggariskan agar pelaksanaan pemilu dilakukan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Hal ini sangat penting agar presiden dan wakil presiden terpilih memperoleh legitimasi konstitusional yang kuat.

“Tanpa itu, siapapun presiden dan wakil presiden terpilih akan berhadapan dengan krisis legitimasi yang akan berakibat terjadinya instabilitas di negara ini. Sebaiknya pemeriksaan PHPU presiden dan wakil presiden ini Mahkamah melangkah ke arah itu,” harapnya.

Dijelaskan Yusril penggunaan DPKTb atau DPK yang berjalan selama ini diatur melalui Peraturan KPU yang mengacu pada putusan MK, meski tidak diatur dalam UU Pilpres. Jadi, secara formil peraturan KPU itu sah. Persoalannya, kata Yusril, apakah secara substansi pengaturan itu benar atau tidak? “Makanya, kita kembalikan pada MK untuk menilai,” katanya.

Said Salahudin menilai KPU telah keliru membuat daftar baru yang disebut DPK dan DPKTb. Sebab, kedua istilah itu tidak dikenal dalam peraturan perundang-undangan. Istilah DPKTb juga bukan yang diterangkan dalam putusan MK No. 102 Tahun 2009. Menurutnya, yang dikenal dalam peraturan perundang-undangan sejak pemilu pertama 1955 adalah DPT.

“Setelah Putusan MK No. 102 ini yang tidak terdaftar di DPT itu bisa memberi suaranya dengan menunjukkan KTP. Ini berimplikasi KPU semakin malas menyusun DPT karena adanya DPK dan DPKTb itu dan membuat mereka tidak tertantang sebagai penyelenggara yang professional,” ujar pengamat pemilu ini.

Untuk diketahui, kubu Prabowo-Hatta mengklaim unggul dari pasangan Jokowi-JK dengan perolehan 67.139.153 suara (50,25 persen) dan 66.435.124 suara (49,74 persen). Mereka menuding pelaksanaan pilpres diwarnai  pelanggaran secara terstruktur, sistematis, dan masif di hampir seluruh provinsi di Indonesia. Karenanya, pasangan nomor urut satu ini meminta pemungutan suara ulang di ribuan TPS yang bermasalah di seluruh Indonesia.   

Seperti adanya penambahan jumlah DPT per Maret 2014 dari 185.827.999 orang hingga per 9 Juli 2014 DPT membengkak menjadi 191.841.733 orang atau sekitar 6 jutaan pemilih. Adanya tudingan ribuan TPS seluruh Indonesia bermasalah lantaran penggunaan DPKtb dan DPK yang melebihi jumlah cadangan surat suara 2 persen. Selain itu, ada sekitar 1,596 juta pemilih di Papua tidak bisa menggunakan hak pilihnya karena tidak menggelar pilpres.
Tags:

Berita Terkait