Selama Jokowi-JK, Jangan Ada Vonis Mati
Berita

Selama Jokowi-JK, Jangan Ada Vonis Mati

Harapan Komnas HAM dan sejumlah aktivis hak asasi.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Selama Jokowi-JK,  Jangan Ada Vonis Mati
Hukumonline
Indonesia sudah seharusnya memulai secara bertahap penghapusan hukuman mati. Sebab, hukuman itu bertentangan dengan prinsip kemanusiaan dan hak asasi manusia yang dijamin konstitusi.

Dalam diskusi yang digelar di Jakarta, Rabu (15/10), dorongan untuk menghapuskan hukuman mati dari hukum positif Indonesia kembali bergema. Bahkan secara khusus Direktur Eksekutif Imparsial, Poengky Indarti meminta pemerintahan Jokowi-JK tak menjalankan vonis hukuman mati.  “Kami berharap tidak ada orang yang dieksekusi mati selama pemerintahan Jokowi-JK,” kata Poengky.

Harapan Poenky juga didukung Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Komisioner Roichatul Aswidah mengatakan sudah saatnya Indonesia meninggalkan hukuman mati. Komnas, kata perempuan yang biasa disapa Roi itu, secara kelembagaan menolak hukuman mati.

Betapa tidak, hukuman mati sudah ditinggalkan berbagai negara karena dinilai tidak beradab. Dalam konstitusi dan Kovenan Hak Sipil dan Politik (ICCPR) secara jelas menyatakan hak untuk hidup tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Pasal 6 ICCPR mengatur hak untuk hidup yang berbeda dari ketentuan lain. Hak untuk hidup adalah inheren yang merupakan karunia Tuhan YME dan tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

Kovenan menegaskan hukuman mati tidak boleh dijalankan sembarangan. Ada syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum sanksi itu dijatuhkan. Kejahatan yang dilakukan tergolong serius seperti pembunuhan berencana. Proses hukum yang berjalan dari awal sampai akhir harus kompeten dan independen. Misalnya, ketika proses pemeriksaan pelaku tidak boleh disiksa. Jika syarat itu tidak dipenuhi maka hukuman mati tidak boleh dilakukan.

Sayangnya, peradilan yang ada di Indonesia sekarang belum memenuhi persyaratan terebut. Komnas HAM mencatat banyak kasus yang menunjukkan buramnya proses penegakan hukum di Indonesia, seperti salah tangkap, penyiksaan dan lapas yang melebihi kapasitas. Alhasil, hak-hak pelaku kejahatan ada yang tidak terpenuhi. Padahal, itu diperlukan dalam rangka mencari keadilan.

Ironisnya, di tengah kondisi tersebut, penjatuhan hukuman mati terus dilakukan. Roi mencatat sampai 2011 ada 116 narapidana yang dijatuhi hukuman mati. Sebagian besar narapidana itu tersangkut kasus narkotika dan terorisme.

Atas dasar itu Komnas HAM merekomendasikan pemerintah baru menghapus hukuman mati. Menurut Roi langkah yang bisa ditempuh diantaranya dengan merevisi regulasi yang memuat sanksi hukuman mati. Serta mencegah pencantuman sanksi hukuman mati dalam produk legislasi. Kemudian meratifikasi protokol opsional kedua kovenan Sipol untuk penghapusan hukuman mati.

“Upaya melakukan penghapusan terhadap hukuman mati dapat dilakukan secara bertahap. Diantaranya menerbitkan moratorium hukuman mati,” kata Roi dalam diskusi yang digelar Imparsial di kantor Komnas HAM di Jakarta, Rabu (15/10).

Ketua Badan Pengurus Setara Institute, Hendardi, menilai penerapan hukuman mati di negara demokratis sangat ironi. Sebab, konstitusi menjamin hak untuk hidup tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun. Tapi, amanat itu tak digubris karena hukuman mati terus dipertahankan sampai sekarang. Padahal, sejumlah pejabat pemerintahan seperti Menteri Luar Negeri, Marty Natalegawa dan mantan Dirjen HAM Kementerian Hukum dan HAM, Harkristuti Harkrisnowo berharap hukuman mati dihapus.

Selain itu, Hendardi juga kecewa terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2007 yang menyatakan hukuman mati tidak bertentangan dengan konstitusi. Adanya putusan itu membuat penghapusan hukuman mati di Indonesia bakal menghadapi banyak rintangan. “Putusan MK itu inkonstitusional karena sangat jelas konstitusi menegaskan hak hidup tidak boleh dikurangi dalam keadaan apapun,” tegasnya.
Tags: