Harapan Upah Layak Bagi Pekerja yang Berkeluarga
Berita

Harapan Upah Layak Bagi Pekerja yang Berkeluarga

Selama ini pengupahan terlalu fokus pada pekerja lajang.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Kemenakertrans. Foto: SGP
Kemenakertrans. Foto: SGP
Pemerintahan SBY menyisakan sejumlah pekerjaan rumah bagi Jokowi-Jusuf Kalla. Salah satunya merampungkan penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Pengupahan. RPP ini adalah amanat UU Ketenagakerjaan.

Sebagai leading sector, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi – kini hanya Kemenaker—diketahui sedang menyusun RPP tersebut bersama instansi terkait. Namun hingga kini RPP dimaksud belum diterbitkan. Kalangan pekerja berharap RPP ini dibahas bersama, tetapi ada juga yang menolak disahkan jika tak memgakomodasi tuntutan pekerja.

Presidium Komite Politik Buruh Indonesia (KPBI), Indra Munaswar, berpendapat RPP Pengupahan seharusnya memuat kebutuhan hidup layak (KHL) untuk pekerja yang sudah berkeluarga. Ia melihat selama ini upah minimum lebih diperuntukkan bagi pekerja lajang dengan pengalaman kerja kurang dari setahun.

Akibatnya, sistem pengupahan pekerja yang masa kerjanya lebih dari setahun dan telah berkeluarga tidak diatur. Sehingga upahnya terkejar pekerja lajang. “RPP Pengupahan itu harus memuat kebutuhan hidup layak bukan saja kepada pekerja lajang tapi juga pekerja yang sudah berkeluarga,” katanya dalam diskusi di Jakarta, Senin (27/10).

Indra menilai komponen KHL sebagaimana diatur dalam Permenakertrans
No. 13 Tahun 2012tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak belum mendefenisikan kebutuhan hidup layak pekerja dengan baik. Sebab, kebutuhan hidup layak hanya dilihat sekedar pemenuhan standar kebutuhan pekerja lajang untuk dapat hidup layak secara fisik dalam satu bulan.

Indra mengusulkan agar RPP Pengupahan juga memperhatikan perhitungan daya beli atau nilai riil upah. Selama ini, perhitungan tersebut luput dari perhatian sehingga upah minimum pekerja semakin tinggi tapi nilai riil atau daya beli pekerja menurun. “Selama ini Pemerintah dan Dewan Pengupahan selalu ribut soal besaran nominal upah, bukan pada nilai riilnya,” ujarnya.

Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Timboel Siregar, amanat Pasal 97 UU Ketenagakerjaan belum dijalankan. Sehingga, selama ini PP No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah selalu dipakai sebagai acuan. Sementara dari segi judul, Timboel menyayangkan RPP Pengupahan menghilangkan kata “Perlindungan” sebagaimana PP Perlindungan Upah itu.

Sebagian besar ketentuan yang diatur dalam RPP Pengupahan menurut Timboel membahas soal upah minimum. Upah minimum seyogianya berlandaskan aspek kemanusiaan sehingga tidak dapat dikaitkan eksplisit dengan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Timboel berharap upah minimum jangan diberikan kepada mekanisme pasar. Landasannya harus kemanusiaan dengan mengacu konstitusi.

Timboel juga menolak pasal 34 RPP Pengupahan yang mengatur kenaikan upah minimum dilakukan dua tahun sekali. Pasalnya, pemerintah belum mampu menjamin stabilitas ekonomi. Sehingga, dalam waktu kurang dari setahun harga-harga kebutuhan pokok fluktuatif. Ditambah lagi faktor eksternal seperti nilai rupiah terhaap dollar Amerika Serikat. “Kalau kenaikan upah minimum dua tahun sekali itu berarti penderitaan pekerja semakin panjang,” paparnya.

Sanksi pidana dalam RPP Pengupahan menurut Timboel tidak eksplisit. Padahal itu ada dalam UU Ketenagakerjaan. Atas dasar itu Timboel berharap agar RPP Pengupahan tidak hanya memuat sanksi berupa denda tapi juga pidana.

Dikatakan Timboel, RPP Pengupahan perlu mengatur mekanisme upah sundulan. Sehingga, pengusaha memberi upah diatas upah minimum kepada pekerja dengan masa kerja lebih dari satu tahun. Survei penentuan upah minimum menurut Timboel juga harus jelas diatur RPP Pengupahan.
Sehingga, pasar yang disurvei itu adalah pasar yang lokasinya dekat dengan kawasan industri.

Anggota Dewan Pengupahan Nasional (Depenas) dari unsur pekerja, Subianto, mengatakan UU Ketenagakerjaan secara tegas mengamanatkan kebutuhan hidup yang layak harus diterima pekerja. Namun, dalam Permenakertrans KHL itu direduksi sehingga yang diatur hanya pencapaian  KHL. Akibatnya, dialog tripartit yang terbangun tidak dilandasi kejujuran dan keadilan. “Pemerintah berselingkuh dengan pengusaha dan menindas pekerja,” tukasnya.

Kemudian, Sekjen KSPSI itu mengusulkan agar Dewan Pengupahan hanya ada di tingkat nasional. Sebab, pekerja di daerah tidak semuanya terorganisasi dengan baik. Sehingga, kurang berperan signifikan dalam Dewan Pengupahan. Akibatnya, upah minimum yang dihasilkan antar daerah tak jarang mengalami ketimpangan signifikan. Menurutnya, dengan Dewan Pengupahan yang terpusat, ketimpangan upah minimum antar daerah itu dapat dikoreksi.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya, Daniel Yusmik, menilai selama ini UU Ketenagakerjaan tidak efektif karena PP Pengupahan belum ada. Itu pertanda selama ini pemerintah tidak fokus untuk memanusiakan pekerja. Hal itu terlihat jelas dalam RPP Pengupahan. “Jika dihitung sejak 2003 berarti sudah 11 tahun UU Ketenagakerjaan tidak efektif,” tuturnya.

Yusmik melihat posisi pekerja dan pengusaha tidak setara. Posisi pekerja jauh lebih lemah ketimbang pengusaha atau pemberi kerja. Posisi pekerja baru setara jika tergabung dalam Serikat Pekerja. Itu pun hanya setara saat melakukan negosiasi dengan pengusaha, seperti membentuk Perjanjian Kerja Bersama (PKB).

Selain itu Yusmik menyorot pasal 35 RPP Pengupahan yang mengatur tentang penetapan upah minimum. Menurutnya, pasal itu harus menegaskan penetapan upah minimum provinsi oleh Gubernur. Tidak perlu ada penambahan frasa “dan/atau upah minimum kabupaten/kota.”
Tags:

Berita Terkait