Profesi-Profesi yang ‘Melawan’ Kriminalisasi
Utama

Profesi-Profesi yang ‘Melawan’ Kriminalisasi

Secara hukum, polisi harus melakukan tugas penindakan jika terjadi pelanggaran. Selain demo, anggota profesi memohonkan pengujian pasal-pasal pidana.

Oleh:
NANDA NARENDRA/MYS
Bacaan 2 Menit
Dr. Agung Sapta Adi (kiri) saat menjadi pemohon uji materi UU Praktik Kedokteran. Foto: Humas MK
Dr. Agung Sapta Adi (kiri) saat menjadi pemohon uji materi UU Praktik Kedokteran. Foto: Humas MK
Setiap orang bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan. Di hadapan hukum, setiap orang harusnya mendapat perlakuan yang sama. Itulah intisari asas equality before the law. Tetapi dalam prakteknya, tak semua orang menerima ancaman pidana, apalagi ancaman pidana terhadap profesi yang menjalankan tugas sesuai Undang-Undang.

Akhir Oktober lalu, ratusan notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) berunjuk rasa di depan gedung Mahkamah Agung. Mereka menolak kriminalisasi yang dilakukan polisi terhadap notaris. Salah satunya terhadap notaris Theresia Pontoh di Jayapura, Papua.

Meskipun rombongan notaris/PPAT itu tak mengatasnamakan organisasi, mereka tetap menyuarakan apa yang selama ini mendapat perhatian pengurus organisasi notaris. “Intinya, kami menyampaikan surat petisi stop segala bentuk kriminalisasi terhadap notaris dan PPAT,” kata koordinator aksi, Aloysius Dumatubun

Rombongan notaris/PPAT ini secara khusus menyinggung kasus Theresia Pontoh yang sudah ditahan polisi sekitar 96 hari. Theresia ditahan dengan tuduhan melanggar Pasal 372 KUHP (penggelapan). Namun menurut Dumatubun, kriminalisasi tak hanya dialami Theresia, tetapi banyak notaris lain. Kriminalisasi itu, kata dia, tak seharusnya terjadi jika polisi benar-benar memperhatikan Pasal 50 KUHP. “Kalau kita lihat Pasal 50 KUHP, notaris menjalankan perintah UU seharusnya tidak dipidana,” katanya.

Pasal 50 KUHP menyebutkan “Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang, tidak dipidana”.

Notaris/PPAT bukan satu-satunya profesi yang pernah menyuarakan perlawanan terhadap kriminalisasi. Sebelumnya, hampir setahun yang lalu, demo besar-besaran juga dilakukan dokter ke depan Mahkamah Agung dan Istana Negara.  Mereka juga menyampaikan aspirasi ke DPR dan Kementerian Kesehatan.

Dalam aksi 27 November 2013, para dokter tegas-tegas menyuarakan stop kriminalisasi dokter. Kampanye stop kriminalisasi dokter ini berlangsung setelah Mahkamah Agung menghukum dokter Dewa Ayu Sasiary Prawani beserta dua rekan dokternya, Hendry Simanjuntak dan Hendy Siagian karena tuduhan ‘karena kealpaannya menyebabkan kematian orang lain”.

Dalam aksinya para dokter tak hanya meminta agar rekan sejawat mereka dibebaskan, tetapi juga menyuarakan pandangan bahwa KUHP tidak bisa diterapkan pada praktek kedokteran karena dokter tidak pernah berita menghilangkan nyawa pasiennya.

Mahkamah Agung akhirnya memang membebaskan dokter Ayu dan kedua rekannya pada tingkat peninjauan kembali (PK). Putusan PK dibacakan kurang dari tiga bulan setelah aksi demo para dokter ke gedung Mahkamah Agung (putusan MA No. 79 PK/Pid/2013).

Upaya dokter melawan kriminalisasi juga diwujudkan dengan cara memohonkan pengujian pasal-pasal pidana dalam Undang-Undang, misalnya UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Upaya semacam ini sudah pernah berhasil setelah Mahkamah Konstitusi membatalkan Pasal 76 dan 79 UU Praktik Kedokteran.

Profesi lain yang menyuarakan antikriminalisasi adalah kurator. Sudah beberapa kali terjadi, kurator dipanggil polisi berkaitan dengan sita boedel pailit yag dilakukan sang kurator. Ali Sumali Nugroho dan Iskandar Zulkarnain termasuk kurator yang pernah diproses hukum.

Salah satu kasus teranyar adalah apa yang dialami Jandri Onasis Siadari. Jandri dijemput paksa petugas kepolisian setelah dilaporkan ke Polda Jawa Timur oleh debitur. Ia dituduh melakukan tindak pidana pemalsuan surat, yaitu surat laporan hasil pemungutan suara kepada hakim pengawas.

Ali Sumali dan Iskandar Zulkarnain akhirnya memang dibebaskan PN Bekasi. Hakim merujuk pada Pasal 50 KUHP. Berdasarkan informasi yang diperoleh hukumonline, PN Surabaya juga sudah membebaskan Jandri. Namun belum diketahui pertimbangan majelis hakim.

Profesi lain yang menolak kriminalisasi dengan cara memohonkan pengujian pasal-pasal pidana dalam Undang-Undang adalah akuntan publik. Ikatan Akuntan Publik Indonesia (IAPI) menyuarakan agar tidak dikriminalisasi lewat UU No 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik.

Ketua Badan Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Alvon Kurnia Palma mengatakan pada dasarnya setiap orang harus diperlakukan sama di hadapan hukum. Kalaupun ada pengesampingan terhadap asas equality before the law, hanya dapat dibenarkan untuk kepentingan umum yang lebih besar.

Namun Alvon juga mengingatkan bahwa polisi menjalankan tugas yang diamanatkan Undang-Undang. Polisi secara normatif harus melakukan penindakan jika ada pelanggaran hukum. Selain itu, polisi perlu ikut mengupakan pencegahan, jangan semata-mata melakukan penindakan. Pencegahan itu bisa dilakukan bersama-sama dengan organisasi profesi.

Dalam organisasi profesi, biasanya ada dewan etik. Karena itu pula, pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie berpendapat kriminalisasi profesi terjadi karena penegakan etik lemah.
Tags:

Berita Terkait