Kontroversi Hukuman Mati
Kolom

Kontroversi Hukuman Mati

Lebih dari 2/3 negara bagian di AS masih memberlakukan hukuman mati dalam hukum positifnya. Padahal, AS sering dijadikan rujukan sebagai negara dengan penghormatan terhadap hak asasi manusia yang baik

Bacaan 2 Menit
Anggota Komisi III DPR dari F-PPP, Arsul Sani. Foto: Istimewa
Anggota Komisi III DPR dari F-PPP, Arsul Sani. Foto: Istimewa
Hukuman mati kembali menjadi diskursus terkait dengan desakan masyarakat luas agar eksekusi terhadap terpidana mati yang berjumlah 64 orang dapat segera dijalankan. Sementara, beberapa LSM atau pemuka agama tertentu meminta hal yang sebaliknya, agar hukuman mati tidak dilaksanakan. Diskursus seperti ini sesungguhnya merupakan “never-ending debates” yang sudah muncul sejak abad pertengahan.

Perundang-undangan hukuman mati itu sendiri telah ada sejak zaman Babilonia kuno, tercantum dalam Code of Hammurabi pada tahun 1750 SM. Diskursus mengenai hukuman mati sebagai instrumen hukum untuk melakukan kontrol sosial terhadap kejahatan tertentu mulai mengerucut secara akademik ketika Cesare Beccaria, seorang kriminolog Italia, pada tahun 1764 M mengkampanyekan pandangan akademik bahwa hukuman mati tidak memberikan manfaat mengurangi kejahatan. Pandangannya dipengaruhi oleh paradigma berpikir yang dikembangkan dari Protestant Ethics, yang mempengaruhi pemikiran dan pengambilan keputusan politik di Eropa abad pertengahan.

Dikotomi pandangan
Secara doktrinal, sudah lebih dari dua dekade terakhir basis argumen kelompok pembela maupun penentang hukuman mati tidak menampilkan hal-hal baru mengapa hukuman mati mesti dipertahankan atau dihapuskan, termasuk pandangan yang berangkat dari pemahaman keagamaan. Namun terdapat sebuah benang merah dari masing-masing kelompok pendukung maupun penentang hukuman mati.

Berbagai penelitian baik doktrinal maupun empiris terkait dengan hukuman mati menunjukkan bahwa pandangan masyarakat maupun otoritas hukum (pembentuk undang-undang, pengadilan, dan kejaksaan) dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti: pemahaman atas ajaran agama, latar belakang budaya, filosofi dan idiologi yang dianut oleh masyarakat dan otoritas hukum tersebut (Anna K. Morthensen, 2008).

Demikian pula, latar belakang individu seperti gender, ras, tingkat ketaatan beragama, kelompok umur dan pandangan-pandangan pribadi tentang kejahatan tertentu juga mempengaruhi posisi dukungan atau penentangan terhadap hukuman mati (Eric G. Lambert et al, 2014). Penelitian-penelitian yang disintesakan oleh para periset ini pada umumnya merupakan penelitian empiris (socio-legal research) yang dilakukan di berbagai negara bagian di Amerika Serikat (AS). Sedangkan, secara doktrinal dikotomi ini terekam dengan baik dalam berbagai buku, antara lain: “Debating the Death Penalty: Experts from both sides make their case” (Bedau & Cassel –eds-, 2005).

Yang menarik, lebih dari 2/3 (dua-pertiga) negara bagian di AS masih memberlakukan hukuman mati dalam hukum positifnya. Padahal, AS sering dijadikan rujukan sebagai negara dengan penghormatan terhadap hak asasi manusia yang baik. Tabel berikut ini menunjukkan jumlah negara-negara bagian di AS yang masih mempertahankan dan telah menghapus hukuman mati. Tabel ini masih mencerminkan keadaan saat ini.

Hukumonline.com
Sumber: Harcourt, 2008

Di beberapa negara bagian AS dimana mayoritas masyarakatnya masih memegang kuat Protestant Ethics dan menjadi basis kaum Republikan, dukungan agar hukuman mati dipertahankan justru selalu tinggi. Penelitian empiris yang dilakukan oleh Joe Sos, et al (2003) terhadap masyarakat kulit putih yang dilakukan secara acak di negara-negara bagian AS menunjukkan bahwa 66% responden warga kulit putih memberikan dukungan kuat terhadap hukuman mati; sedang 17% memberikan weak support dan hanya 17% yang menentang terhadap pemberlakuan hukuman mati.

Penelitian lain yang dilakukan Eric G. Lambert et al tersebut diatas dengan responden kaum muda, yakni para mahasiswa lintas warna kulit di berbagai universitas di negara bagian Michigan, AS juga menghasilkan dukungan yang tinggi terhadap dipertahankannya hukuman mati. 62% responden penelitian ini mendukung hukuman mati, 26% menentang hukuman mati diteruskan dan 12% tidak bersikap.

Angka yang tercatat pada the Death Penalty Information Center, USA menunjukkan bahwa sampai tahun 2011 masih sekitar 65% responden penelitian di AS yang mewakili masyarakat dari berbagai strata sosial, warna kulit dan agama mendukung hukuman mati tetap dipertahankan. Di beberapa negara bagian AS dimana angka kejahatan tinggi dan hukuman mati sering dijatuhkan, maka tingkat dukungan masyarakatnya cenderung lebih tinggi lagi.

Penelitian oleh Scott Vollum et al pada tahun 2009 di Texas dan California menghasilkan dukungan 72,6% dari responden yang dimintai pendapatnya tentang hukuman mati. Tingginya dukungan publik dalam mempertahankan hukuman mati untuk kasus-kasus pembunuhan dengan pemberatan diakui sebagai alasan utama mengapa para pembentuk undang-undang tetap mempertahankan hukuman mati sebagai bagian dari kebijakan koreksi (correctional policy) terhadap kejahatan dalam sistem hukum dan peradilan di AS (Diana Falco & Tina Fruiburger, 2011).

Dari sisi doktrinal sendiri, precedent dari Mahkamah Agung AS yang mencerminkan keyakinan para hakimnya pernah menunjukkan pergeseran pandangan. Setelah berpuluh-puluh tahun tidak mempersoalkan keabsahan hukuman mati, pada tahun 1972 dalam kasus Furman v. Georgia, Mahkamah Agung AS sebagaimana tercermin dalam pandangan Justice Marshall memutuskan inkonstitusionalitas hukuman mati. Hukuman ini dianggap melanggar Amandemen Kedelapan Konstitusi AS yang melarang segala bentuk hukum yang bersifat “cruel and  unusual”.

Studi Diana Falco & Tina Fruiberger mencatat putusan ini dijatuhkan ketika dukungan publik terhadap hukuman mati mencapai titik terendah dalam sejarah kriminologi AS. Meskipun rendahnya dukungan publik pada awal 1970-an terhadap hukuman mati tidak menggeser pandangan Richard Nixon selaku Presiden AS saat itu, yang secara terbuka tetap menganggap bahwa hukuman mati merupakan sarana pencegah yang efektif (effective deterrence) terhadap tindak kejahatan tertentu di AS (John Lamperti, 1998). 

Precedent yang tercipta dalam Furman v. Georgia tidak bertahan lama ketika the US Supreme Court dalam kasus Gregg v. Georgia di tahun 1976 mengambil pandangan yang berlawanan dengan precedent terdahulu. Dalam putusan yang lebih belakangan ini, Mahkamah Agung AS meletakkan norma hukum baru bahwa hukuman mati tidak melanggar Amandemen Kedelapan maupun Keempatbelas Konsitusi AS, sepanjang hukuman mati tersebut dituangkan dalam sebuah peraturan perundangan yang memastikan bahwa otoritas hukum (termasuk pengadilan) memiliki informasi, bukti serta prosedur beracara yang memadai untuk sampai pada putusan mereka. Pada saat putusan ini dijatuhkan, tingkat dukungan publik AS terhadap hukuman mati bagi pelaku kejahatan pembunuhan tertentu sedang naik kembali. Keadaan ini dapat ditafsirkan bahwa di AS pun kuatnya pendapat publik ditangkap otoritas hukum sebagai sebuah refleksi social justice yang dikehendaki publik dan perlu dicerminkan baik dalam perundang-undangan maupun putusan pengadilan.

Harus diakui bahwa pandangan publik di Eropa berada pada sisi sebaliknya dengan yang muncul di AS dalam soal hukuman mati. Arah kebijakan dan perundang-undangan yang menuju penghapusan hukuman mati bertambah kuat ketika struktur dan kelembagaan hukum dalam European Union terbentuk. Pembentuk undang-undang maupun pengadilan dalam kawasan Uni Eropa memiliki sikap yang tidak sama dengan yang dapat kita jumpai di AS. Seiring dengan diberlakukannya the Charter of Fundamental Rights of European Union dan the European Convention on Human Rights of the Council of Europe, pada saat ini praktis hukuman mati dihapuskan dari perundang-undangan pidana negara-negara di Eropa, kecuali Belarusia.

Pelajaran untuk Indonesia
Meskipun terdapat perbedaan kebijakan, perundangan serta pendirian pengadilan tentang hukuman mati antara AS dengan Eropa, namun sebuah garis kesimpulan dapat ditarik dari perbedaan kedua kawasan tersebut dalam persoalan hukuman mati. Garis ini menyambungkan prinsip bahwa kebijakan, perundang-undangan serta sikap pengadilan untuk mempertahankan atau menghapus hukuman mati dipengaruhi oleh pandangan dan keyakinan publik di masing-masing kawasan tentang apa yang mereka yakini sebagai kepentingan atau kebutuhan (nasional) untuk terus-tidaknya mempertahankan hukuman mati bagi kejahatan-kejahatan tertentu dalam sistem hukum pidana mereka. Sudah barang tentu pandangan atau keyakinan publik tentang hukuman mati ini akan dipengaruhi oleh faktor-faktor personal yang melekat pada masing-masing individu dalam masyarakat tersebut, termasuk keyakinan dan pemahaman agama, idiologi, tingkat kebutuhan untuk hidup aman dan terlindungi dari ancaman kejahatan yang mengerikan maupun konsepsi hak asasi manusia.

Jika garis di atas kita ambil, maka pertanyaan mendasar yang perlu diurai jawabannya adalah apakah kepentingan atau kebutuhan nasional Indonesia dalam pandangan dan keyakinan masyarakat kita menghendaki hukuman mati untuk dipertahankan dan dilaksanakan atau dihapus dan dihentikan eksekusinya? Sampai di titik ini, pada akhirnya masing-masing kita akan menunjukkan keberpihakan pada pilihan mempertahankan hukuman mati atau menghapusnya, lengkap dengan argumen-nya masing-masing yang pada umumnya juga “co-pas” terhadap argumen yang berkembang di kawasan lain.

Namun ketika terdapat suara yang menghendaki dihapuskannya hukuman mati dari hukum positif Indonesia, mereka yang menyuarakannya perlu meyakinkan atau bahkan membuktikan secara empiris bahwa mayoritas masyarakat Indonesia juga memiliki pandangan yang sama dengan mereka. Ketika mayoritas masyarakat kita menyuarakan hal yang sebaliknya, bahwa hukuman mati masih perlu dipertahankan dalam hukum positif Indonesia bagi pelaku kejahatan-kejahatan tertentu yang mengancam kepentingan masyarakat luas, seperti pelaku terorisme; bandar besar narkoba dan pembunuh berencana yang menghilangkan beberapa nyawa manusia. Realitas seperti inipun harus bisa diterima, sekaligus juga berhenti mencatat Indonesia sebagai negara yang tidak menghormati HAM karena masih mempertahankan hukuman mati.

*Penulis adalah anggota DPR-RI (periode 2014-2019), duduk di Komisi III & Badan Legislasi, masih menjadi mahasiswa doktoral di Glasgow School for Business and Society, GCU- Scotland, UK.
Tags:

Berita Terkait