Tak Ada Alasan Kejagung Tunda Eksekusi Terpidana Mati Narkoba
Berita

Tak Ada Alasan Kejagung Tunda Eksekusi Terpidana Mati Narkoba

Karena grasi yang diajukan terpidana resmi ditolak presiden.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Gedung Kejaksaan Agung. Foto: SGP.
Gedung Kejaksaan Agung. Foto: SGP.
Habis sudah harapan sejumlah terpidana mati kasus narkoba ‘mengemis’ belas kasih Presiden Joko Widodo agar diberikan keringanan hukuman. Pintu belas kasih presiden tertutup bagi terpidana mati kasus narkoba dan sejenisnya. Para terpidana mati itu pun harus menyiapkan diri menghadapi peluru panas di depan regu tembak.

Oleh sebab itu, Kejaksaan Agung selaku eksekutor tak ada alasan untuk tidak segera melaksanakan eksekusi terhadap sejumlah terpidana mati tersebut. “Eksekusi hukuman harus dilaksanakan Jaksa Agung sebagai eksekusi, karena grasi sudah ditolak,” ujar Ketua Komisi III, Aziz Syamsuddin, Jumat, (12/12).

Dikatakan Aziz, diperlukan  sikap tegas seorang presiden terhadap kejahatan luar biasa seperti narkoba dan korupsi. Menurutnya, Kejagung harus segera melakukan eksekusi sejak permohonan grasi terpidana ditolak. Lagi pula, dari sisi yuridis tak ada hambatan. Ia memaklumi adanya penundaan eksekusi lantaran masih adanya permohonan grasi.

“Kalau sekarang tak ada hambatan hukum,” katanya.

Meski mendapat penolakan terhadap eksekusi terpidana mati dari berbagai aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) dalam dan luar negeri, Aziz menilai Kejagung mesti jalan terus. Ia berpandangan mengeksekusi hukuman terhadap kejahatan kategori luar biasa tak  melanggar HAM. Pasalnya, kejahatan yang dilakukan terpidana berdampak sistemik terhadap kehidupan dan kesehatan masyarakat.

Politisi Partai Golkar itu lebih jauh mengatakan sudah memberikan pandangan terhadap pihak Amnesty Internasional. Saat menerima pihak Amnesti Internasional, kata Aziz, ia menjelaskan hukuman mati bagi terpidana kasus kejahatan luar biasa dimungkinkan. Makanya, hukuman mati masih dibelakukan di Indonesia.

Penerapan hukuman mati pun tak saja diberlakukan terhadap WNI, tetapi warga negara asing pun jika melakukan kejahatan luar biasa bukan tidak mungkin dapat diganjar hukuman mati. “Warga negara asing manapun kalau melanggar hukum di Indonesia, yang berlaku hukum nasional,” katanya.

Wakil Ketua Komisi III Desmon Junaedi Mahesa mengamini pandangan Aziz. Menurutnya, perkara narkoba tak ada ampun. Ia berpandangan penolakan presiden terhadap permohonan grasi terpidana mati dipandang tepat. “Untuk narkoba itu tidak ada grasi-grasi,” ujarnya.

Politisi Partai Gerindra itu berpandangan hukuman mati layak diterapkan terhadap pelaku kejahatan narkoba dan kejahatan luar biasa lainnya. Persoalan adanya penolakan penerapan hukum mati dari kalangan aktivis HAM, Desmon tak menggubrisnya. Bagi Desmon, ukuran HAM perlu melihat ke dalam negeri.

“Kalau dalam kepentingan nasional kita setuju narkoba dihukum mati. Kalau melanggar HAM itu ukurannya internasional atau kita. Kita perlu ketegasan untuk pembangunan negara kita,” ujarnya.

Anggota Komisi III Aboe Bakar Al Habsyi menegaskan perlunya keseriusan pemerintah terhadap dampak narkoba. Oleh sebab itu, pemerintah mesti mengganjar hukuman berat terhadap pelaku kejahatan narkoba. Ia berpandangan aksi pemerintahan Joko Widodo melalui Kejaksaan Agung ditunggu publik dalam mengeksekusi terpidana mati kasus narkoba.

“Ketegasan pemerintah diperlukan untuk membuat efek jera para bandar narkoba. Salah satunya dengan mengeksekusi mati para bandar narkoba,” ujarnya.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera itu lebih jauh berpendapat nyali besar dibutuhkan oleh pemerintah dalam mengganjar hukuman berat terhadap pelaku kejahatan narkoba. Pasalnya peredaran dan pengguna narkoba di Indonesia meningkat tajam dalam kurun waktu belakangan terakhir.

“Oleh karenanya, keberanian dari pemerintah ditunggu agar mengurangi berbagai dampak dari peredaran narkoba tersebut,” pungkasnya.

Sebelumnya, pihak Kejaksaan Agung melansir sebanyak 20 terpidana  berstatus hukuman mati siap dieksekusi setelah grasi yang diajukan pemohon resmi ditolak presiden. Jumlah terpidana hukuman mati sebanyak 64 orang. Namun sisanya masih mengajukan upaya hukum lainnya hingga tingkat grasi.
Tags:

Berita Terkait