Menguji Qanun ke Mahkamah Agung
Qanun Jinayah:

Menguji Qanun ke Mahkamah Agung

Walhi Aceh sedang menguji Qanun Tata Ruang ke MA.

Oleh:
MYS/ASH/M-22
Bacaan 2 Menit
Salah satu rambu qanun yang terpasang di jalan di Aceh. Foto: MYS
Salah satu rambu qanun yang terpasang di jalan di Aceh. Foto: MYS
Dekan Fakultas Hukum Unsyiah Banda Aceh, Prof. Faisal A. Rany punya mimpi agar di Mahkamah Agung (MA) ada kamar khusus tentang syariah. Tetapi ia tahu mimpi itu hanya bisa diwujudkan jika banyak perkara syariah yang masuk, baik bisnis dan muamalah maupun jinayah.

Penerapan qanun jinayah sejak 2003 sering dikritik orang. Tetapi sepengetahuan Prof. Faisal belum pernah satu pun qanun Aceh yang dibatalkan MA melalui hak uji materiil. Judicial review merupakan upaya hukum yang sah untuk mempersoalkan qanun, termasuk Qanun Jinayah.

Pasal 235 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menegaskan pemerintah dapat melakukan pengawasan terhadap qanun. Bahkan rancangan qanun (raqan) bisa dievaluasi pemerintah sebelum disetujui bersama kepala daerah dan legislatif. Hasil evaluasi pemerintah itu bersifat mengikat.

Evaluasi raqan itu juga dijelaskan dalam Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun. Menteri Dalam Negeri melakukan evaluasi terhadap raqan tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA). Paling lambat tujuh hari setelah menerima hasil evaluasi Mendagri, DPRA dan Gubernur Aceh melakukan penyempurnaan. Sebaiknya, jika dalam waktu 15 hari setelah menerima raqan, DPRA dan Gubernur Aceh menggelar rapat paripurna untuk menetapkan raqan APBA menjadi qanun. Khusus untuk qanun kabupaten/kota, kewenangan evaluasi itu ada di tangan gubernur.

Beberapa waktu lalu, melalui surat resmi pada kepada Mendagri tanggal 3 Februari 2015, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menagih janji Mendagri melakukan kajian terhadap Qanun Jinayah. Menurut ICJR, hasil kajian itu harus segera disampaikan kepada publik.  

“ICJR memandang beberapa pasal terkait qanun tersebut memiliki masalah besar terutama dalam masalah pidana cambuk (corporal punishment). Paling tidak ada 10 tindak pidana utama (jarimah) yang diatur dalam qanun ini (pasal 3) yang mencakup 46 jenis tindak pidana dimana hampir semuanya memberikan ancaman pidana cambuk bagi pelakunya,” papar ICJR dalam siaran pers, Kamis lalu (5/2).

Selain bentuk pengawasan (executive preview) tersebut, dikenal mekanisme judicial review. Pasal 235 ayat (4) UU Pemerintahan Aceh menegaskan khusus qanun pelaksanaan syariat Islam diuji oleh MA. Bahkan frasa yang dipakai dalam norma ini adalah ‘hanya dapat dibatalkan melalui uji materi oleh Mahkamah Agung’. Ketentuan ini yang membuat rancangan qanun jinayah sulit diutak-atik Kementerian Dalam Negeri. Sepengetahuan Faisal A. Rany, saat diwawancarai hukumonline, Desember 2014 lalu, belum ada qanun yang dibatalkan MA. 

Pernyataan senada disampaikan Prof. Al Yasa Abubakar, mantan Kepala Dinas Syariat Islam Aceh. “Yang saya ketahui juga tidak ada,” ujarnya kepada hukumonline (02/2). “Tidak ada yang mengajukan,” sambungnya.

Qanun Tata Ruang
Bukan berarti tak ada yang mempersoalkan qanun sama sekali ke MA. Penelusuran hukumonline ke register perkara di MA menemukan ada satu permohonan pengujian qanun yang sedang ditangani MA. Majelisnya pun sudah ditentukan.

Qanun yang dipersoalkan adalah Qanun Aceh Nomor 19 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh Tahun 2013-2033. Pemohonnya Wahana Lingkungan Hidup (Walhi Aceh). Dihubungi hukumonline via telepon, Direktur Walhi Aceh, Muhammad Nur, membenarkan permohonan hak uji materiil itu. “Kami berharap pada Maret mendatang sudah ada putusan dari MA,” kata Nur. “Semakin cepat diputuskan, lebih baik,” sambungnya.

M. Nur menjelaskan Qanun Tata Ruang Aceh itu tak memenuhi aspek partisipasi publik terutama dalam penentuan ruang mukim, tidak mengakomodasi 27 masuk Kementerian Dalam Negeri, dan yang tak kalah fatal, tak mengakomodasi perlindungan kawasan ekosistem Leuser. “Ada lima pasal yang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi,” ujarnya.

Salah satunya Pasal 32 Qanun Tata Ruang yang mengatur kawasan lindung. Diatur bahwa kawasan lindung Aceh meliputi (a) kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan di sekitarnya; (b) kawasan suaka lam, kawasan pelestarian alam, dan kawasan cagar budaya; (c) kawasan lindung lainnya; serta (d) kawasan lindungan yang diindikasikan sebarannya. Qanun, kata Nur, tak memberikan jaminan bagaimana kawasan hutan lindung itu terlindungi dengan baik.

Hak uji, seperti yang dilakukan Walhi Aceh, merupakan cara legal dan abash mempersoalkan Qanun Jinayah. Komnas Perempuan termasuk yang pernah mempersoalkan Qanun Jinayah itu dan meminta pemerintah pusat ‘memastikan pembatalan qanun jinayah dan kebijakan diskriminatif lainnya’.

Mungkinkah jalan legal itu yang akan ditempuh?
Tags:

Berita Terkait