RUU KPK dan RUU Pemberantasan Tipikor Masuk Prolegnas 2015-2019
Berita

RUU KPK dan RUU Pemberantasan Tipikor Masuk Prolegnas 2015-2019

Selain kemelut perseteruan KPK-Polri, terdapat kelemahan dalam UU KPK. Mulai belum diaturnya imunitas pimpinan KPK, sisa jabatan pimpinan KPK yang menjadi tersangka, hingga penguatan lembaga.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Sarifuddin Sudding. Foto: SGP
Sarifuddin Sudding. Foto: SGP
Setelah batal dibahas dalam Prolegnas 2009-2014, Revisi UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali masuk dalam Prolegnas 2015-2109. RUU KPK masuk dalam urutan nomor 63. Sedangkan RUU pemberantsan Tipikor berada pada urutan 37. Jika RUU KPK atas inisiatif usul DPR, RUU Pemberantasan Tipikor menjadi usul pemerintah dan DPR.

“Revisi UU KPK itu diajukan DPR, naskah akademiknya juga sudah ada,” ujar Wakil Ketua Baleg, Firman Subagyo di Gedung DPR, Senin (9/2).

Revisi UU KPK memang menjadi keharusan. Apalagi, telah terdapat beberapa pasal yang diajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Terlebih, kondisi perseteruan antara KPK dengan Polri menjadi bagian indikator agar segera dilakukan revisi. Menurutnya, kondisi sengkarut KPK-Polri merugikan masyarakat dalam rangka penegakan hukum, khususnya pemberantasan korupsi.

“Ini tidak bisa ditawar-tawar, tetapi bulan KPK saja yang direvisi, UU Kepolisian, Kejaksaan juga kita masukan unutk dievaluasi kembali bagaimana menata penegakan hukum jangan sampai satu sama lain saling membunuh,” ujarnya.

Namun  begitu, pembahasan RUU KPK tak dilakukan pada periode 2015. Pembahasan RUU KPK nantinya menjadi ranah Komisi III yang membidangi hukum. Kendati demikian, Komisi III saat ini fokus pada pembahasan RKUHP yang menjadi prioritas. Nah, setelah pembahasan RKUHP, akan dilanjutkan dengan RKUHAP.

Jika keduanya rampung, Komisi III akan melakukan pembahasan terhadap RUU KPK, Kepolisian dan Kejaksaan.  Menurutnya, RKUHAP dan RKUHP menjadi pintu masuk dalam pembahasan RUU KPK. Apalagi, hukum acara menjadi acuan dalam proses penegakan hukum.

“Tetapi kita kaji dulu secara mendalam kemelut KPK-Polri, supaya reda dulu baru kita masuk dengan kepala dingin dan duduk bersama KPK, Kepolisian dan Kejaksaan,” imbuh politisi Golkar itu.

Wakil Ketua Baleg lainnya, Saan Mustopa menambahkan dimasukannya RUU KPK dalam Prolegnas 2015-2019 dilakukan lantaran dalam rangka penguatan pemberantasan korupsi. Ia berharap masyarakat tidak menilai seolah DPR melakukan pelemahan terhadap KPK.

Namun begitu, RUU KPK dalam Prolegnas belum sampai pada tahap substansi. Lagi pula, tidak dilakukan pembahasan pada 2015. Namun ia tidak menampik, jika dirasa genting maka RUU tersebut dapat dilakukan pada tahun rentang waktu antara 2015 hingga 2019.

“Semangatnya untuk pemberantasan korupsi, jangan dipahami sebagai upaya pelemahan,” ujar politisi Demokrat itu.

Anggota Komisi III Sarifuddin Sudding berpandangan sudah banyak pihak yang menghendaki dilakukannya revisi terhadap UU KPK dan UU Pemberantasan Tipikor. Khususnya UU KPK, dinilai memiliki banyak kelemahan. Misalnya, sengkarut perseteruan KPK-Polri munculnya wacana hak imunitas bagi pimpinan KPK yang belum diatur dalam UU No.30 Tahun 2002.

Kemudian, adanya pimpinan KPK yang tersandung kasus hukum agar non aktif. Lantas bagaimana sisa jabatannya, hal itu belum juga diatur dalam UU KPK. “Lalu bagaimana dengan sisa pimpinan KPK yang kurang dari lima dalam pengambilan keputusan dan kebijakan kolektif kolegial, itu kan belum diatur hal seperti itu,” katanya.

Dalam kondisi sengkarut penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, sudah saatnya dilakukan revisi. Menurutnya, revisi UU KPK dalam rangka menguatkan integrated criminal justice system dalam penegakan hukum dengan kejaksaan, kepolisian dan peradilan.

Nah, dalam UU KPK nantinya akan disingkronkan dengan UU lembaga penegak hukum lainnya agar saling bersinergi. “Kalau sekarang banyak permasalahan yang muncul KPK dan Polri selalu terjadi. Untuk menghindari itu harus ada pemikiran bagaimana saling bersinergi satu sama lain, nah ini yang mau disempurnakan,” katanya.

Politisi Partai Hanura ini tak menampik jika akan dilakukan revisi adanya sikap kontra dari sebagian kalangan masyarakat. Mulai DPR dituding melakukan upaya pelemahan KPK. Ia memaklumi hal tersebut disebabkan informasi yang diserap masyarakat tak utuh. Sudding berpandangan, ketika KPK dalam penegakan hukum menetapkan tersangka seseorang, lembaga anti rasuah itu dinilai melakukan politisasi. Sebaliknya, Bareskrim melakukan penegakan hukum, dinilai sebagai upaya kriminalisasi.

“Saya kira stigma-stigma seperti ini harus dihindari. Kita percayakan pada institusi dalam due process of law. Jadi jangan muncul stigma-stigma yang menggerus intitusi penegakan hukum itu sendiri dengan stigma ada kriminalisasi, politisasi, penzoliman dan sebagainya. Masyarakat jangan diberi suatu informasi yang menyesatkan,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait