Kepesertaan Wajib BPJS Dinilai Diskriminatif
Berita

Kepesertaan Wajib BPJS Dinilai Diskriminatif

Pasal-pasal itu harus dinyatakan konstitusional bersyarat atau sebagian dibatalkan.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Achmad Sodiki. Foto: Humas MK
Achmad Sodiki. Foto: Humas MK
Mantan Hakim Konstitusi Prof Achmad Sodiki menilai kepesertaan wajib program jaminan sosial (jamsos) yang diikuti seperti diatur Pasal 15 ayat (1) dan (2), Pasal 16 ayat (1) dan (2) UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) adalah kebijakan yang menimbulkan perlakuan diskriminatif. Ia berpendapat layanan jaminan kesehatan terbuka baik negara maupun swasta.

“Ini juga kebijakan yang tidak fair dan bertentangan dengan konstitusi,” ujar Achmad Sodiki saat memberi keterangan sebagai ahli dalam sidang lanjutan pengujian UU BPJS di ruang sidang MK, Selasa (24/2).

Sodiki menegaskan letak diskriminatif atau perlakuan yang berbeda lantaran kebijakan kepesertaan program jamsos itu hanya mewajibkan pemberi kerja (perusahaan) dan pekerjanya kepada BPJS. Padahal, lembaga di bidang jaminan sosial di luar BPJS cukup banyak.

“Seharusnya, pemerintah hanya mewajibkan semua pekerja, pemberi kerja, dan setiap orang diluar pekerja dan pemberi kerja wajib mengikuti program jamsos. Terlepas nantinya mereka memilih BPJS atau di luar BPJS terserah yang bersangkutan,” papar Sodiki.

Dia memandang kewajiban bagi pemberi kerja dan pekerjanya terlibat dalam jaringan BPJS justru dapat merugikan pekerja itu sendiri. Pemberi kerja dan pekerjanya kehilangan kebebasannya memilih lembaga jamsos yang terbaik dan layak. “Kalau asumsinya BPJS terbaik, ini kesimpulan yang tergesa-gesa karena faktanya tidak demikian,” ungkapnya.

Menurut dia model penyeragaman konsep BPJS ini persis model kewajiban setiap lembaga pendidikan membentuk badan hukum pendidikan (BHP) yang diamanatkan UU No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP). UU BHP itu dinilai mengingkari heterogenitas masyarakat di bidang pendidikan. Atas dasar Pemikiran ini pula, UU BHK akhirnya dibatalkan MK.

“Ini serupa pada lembaga jamsos (BPJS). Kalau ini gagal ujung-ujungnya rakyatlah yang akan menderita,” ujar pria yang tercatat sebagai Guru Besar FH Universitas Brawijaya ini.

Soal adanya sanksi administratif bagi pemberi kerja selain penyelenggara dalam Pasal 17 UU BPJS ini pun dinilai diskriminatif. Sebab, ada pembedaan antara pemberi kerja bukan penyelenggara negara (swasta) dan pemberi kerja sebagai penyelenggara negara. Aturan ini mengasumsikan penyelenggara negara tidak pernah salah, sehingga diistimewakan perlakuannya. Sodiki khawatir faktanya tidak demikian,” tambahnya.  “Karena itu, pasal-pasal itu harus dinyatakan konstitusional bersyarat atau sebagian dibatalkan.”

Sebelumnya, para pemohon yakni PT Papan Nirwana, PT Cahaya Medika Health Care, PT Ramamuza Bhakti Husada dan PT Abdiwaluyo Mitrasejahtera (perusahaan asuransi), serta Sarju dan Imron Sarbini mempersoalkan 6 pasal dalam UU BPJS. Ketentuan yang disasar yaitu Pasal 15 ayat (1); Pasal 16 ayat (1) dan (2), Pasal 17 ayat (1) dan (2) huruf c, (4); dan Pasal 19 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU BPJS terkait kewajiban memilih BPJS.

Para pemohon menganggap kewajiban mendaftarkan ke BPJS menyebabkan pemberi kerja (Pemohon I dan Pemohon II) tidak bisa memilih penyelenggara jaminan sosial lain. Padahal, jaminan sosial lainnya lebih baik dari BPJS. Terlebih, adanya sanksi administratif kepada pemberi kerja apabila tidak mendaftarkan pekerjanya ke BPJS seperti diatur Pasal 17 ayat (1) dan (2) huruf c, dan ayat (4)  UU BPJS. Tetapi, penyelenggara negara tidak dikenai sanksi administratif jika tidak mendaftarkan pekerja/pegawainya.

Menurut pemohon, kewajiban memilih BPJS sebagai penyelenggara jaminan sosial pekerja menyebabkan monopoli dalam penyelenggaraan jasa layanan jaminan sosial yang berimbas langsung bagi penyedia jasa layanan kesehatan lainnya (perusahaan asuransi lainnya) seperti yang dialami Pemohon III dan Pemohon IV. Mereka menganggap pasal-pasal itu karena dianggap bertentangan dengan Pasal 28I ayat (1) dan (2) serta Pasal 28H ayat (3) UUD 1945, sehingga harus dihapus atau dinyatakan konstitusional bersyarat.
Tags:

Berita Terkait