Pemerintah dan DPR Bantah Ada Dualisme Pengurusan TKI
Berita

Pemerintah dan DPR Bantah Ada Dualisme Pengurusan TKI

Pengujian kedua pasal itu menyangkut persoalan teknis penerapan norma yang tidak bertentangan UUD 1945.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Dirjen Bena Penta Kementerian Tenaga Kerja, Reyna Usman saat menyampaikan keterangan pemerintah dalam sidang uji materi UU PPTKILN, Rabu (25/02). Foto: Humas MK
Dirjen Bena Penta Kementerian Tenaga Kerja, Reyna Usman saat menyampaikan keterangan pemerintah dalam sidang uji materi UU PPTKILN, Rabu (25/02). Foto: Humas MK
Pemerintah membantah Pasal 26 ayat 2 huruf f dan Penjelasan Pasal 28 UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (PPTKI) terkait pengurusan TKI terjadi dualisme pengurusan TKI. Sebab, kata “Menteri” dalam Pasal 28 UU PPTKI sudah jelas yakni Menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan seperti disebutkan Pasal 1 angka 17 UU PPTKI.  

“Pemerintah tak sependapat dengan anggapan para pemohon, karena Pasal 28 beserta penjelasannya sudah jelas. Sebab, Pasal 1 angka 17 UU PPTKI adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan,” ujar Dirjen Binapenta Kemenakertrans Reyna Usman saat menyampaikan tanggapan pemerintah dalam sidang lanjutan pengujian UU PPTKI di Gedung MK, Rabu (25/2).

Reyna melanjutkan uji materi Pasal 26 ayat (2) huruf f yang dianggap menimbulkan ketidakpastian hukum juga tidak tepat dan salah sasaran. Sebab, pasal itu dimaksudkan sebagai persyaratan formal mengantongi izin KTKLN bagi TKI yang bekerja di luar negeri untuk kepentingan perusahaan sendiri. KTKLN diwajibkan justru untuk melindungi WNI di luar negeri dan memudahkan pengawasan TKI.   

“Jadi, sebenarnay Pasal 26 ayat (2) huruf f UU PPTKI telah sejalan dengan amanat Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4,” papar Reyna.

Menurutnya, persoalan yang dialami para pemohon terkait dualisme proses perizinan dan pengurusan TKI ketika terjadi perselisihan antara TKI dan PPTKIS merupakan persoalan penerapan norma, bukan persoalan konstitusionalitas norma. Dia jelaskan Kemenakertrans sebagai perumus kebijakan mendelegasikan kepada Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) sebagai pelaksana penempatan TKI berdasarkan perjanjian tertulis antara pemerintah dengan pemerintah negara tujuan.

“Demikian pula dengan TKI pelaut yang bekerja di kapal bendera asing. Meski Permenakertrans yang mengatur jabatan tertentu (pelaut) belum diterbitkan, tidak mengurangi kewenangan Menakertrans seperti diamanatkan Pasal 28 UU PPTKI,” kilahnya.

Meski begitu, dia mengakui kalau terjadi perselisihan menyangkut hak-hak normatif dan jaminan perlindungan antara TKI pelaut dan PPTKI diselesaikan lewat Ditjen Perhubungan Darat Kemenhub. Sebab, selama ini tata cara kontrak ABK dan PPTKIS diatur oleh Kemenhub sebagai satu kesatuan dengan agen awak kapal itu sendiri.    

“Perselisihan ini memang seharusnya menjadi kewenangan Kemenakertrans karena masalah hubungan kerja antara pekerja dan pemberi kerja,” akunya.

Pandangan senada disampaikan DPR yang menyatakan dalil para pemohon menyangkut kementerian mana yang bertanggung jawab memberi perlindungan TKI, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum, tidak beralasan. Sebab, Penjelasan Pasal 28 UU PPTKI yang menyebut pekerjaan atau jabatan tertentu antara lain sebagai pelaut sudah cukup jelas.

“Sehingga, TKI pelaut atau Anak Buah Kapal (ABK) tunduk pada persyaratan pembuatan KTKLN yang ditentukan UU PPTKI dan Permenakertrans No. 7 Tahun 2015, bukan Kementerian Perhubungan. Mengingat Pasal 1 angka 17 PPTKI secara tegas menyebut menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan,” ujar Kuasa Hukum DPR, Junimart Girsang.

“Jadi, pengujian kedua pasal itu menyangkut persoalan teknis penerapan norma yang tidak bertentangan UUD 1945,” katanya.                  

Sebelumnya, 29 TKI sektor perikanan alias Anak Buah Kapal (ABK) diantaranya Imam Safi’i, Bambang Suherman, Ade Irawan, Agus Supriyanto, Mustain, Hamdani, mempersoalkan dualisme pengurusan TKI di sektor perikanan, terkait kewajiban mengantongi Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN). Pasalnya, terdapat perbedaan persyaratan penerbitan KTKLN yang ditetapkan sejumlah instansi seperti Kemenakertrans, Kemenhub, dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI).

Menurutnya, adanya dualisme pengurusan itu menimbulkan perselisihan antara ABK dan PPTKIS terkait minimnya jaminan perlindungan TKI dari pemerintah. Hal ini disebabkan adanya saling lempar tanggung jawab antara Kemenakertans, BNP2TKI, dan Kemenhub. Sebab, Pasal 28 UU PPTKI tidak mengatur kementerian mana yang bertanggung jawab memberi perlindungan terutama akibat hubungan kerja para pemohon dengan PPTKIS.

Para pemohon meminta MK meminta agar Pasal 28 UU PPTKI beserta penjelasannya dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai kata “Menteri” adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. Selain itu, Pasal 26 ayat 2 huruf f UU PPTKI beserta penjelasannya bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai, “TKI yang ditempatkan tidak wajib memiliki KTKLN.”
Tags:

Berita Terkait