Perlindungan Terhadap TKI Belum Maksimal
Berita

Perlindungan Terhadap TKI Belum Maksimal

Harus dipertegas tugas pokok, fungsi dan wewenang antara regulator dan operator. Harus jelas lembaga yang bertanggung jawab terhadap isu-isu penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri.

Yoz
Bacaan 2 Menit
Perlindungan terhadap TKI belum maksimal, Foto: Sgp
Perlindungan terhadap TKI belum maksimal, Foto: Sgp

Ketenagakerjaan masih menjadi masalah yang dihadapi oleh semua bangsa, terutama negara berkembang. Di Indonesia, fungsi perlindungan terhadap TKI dimulai sejak pra penempatan, masa penempatan, hingga purna penempatan. Hal ini diatur dalam Pasal 77 ayat 1 dan 2 UU No 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri (UU PPTKLN).

 

Sudah seharusnya fungsi perlindungan tersebut didukung oleh fungsi pengawasan yang bagus. Sayang, fungsi pengawasan sebagai salah satu mekanisme melakukan perlindungan terhadap TKI belum diperjelas. “Fungsi ini seharusnya tidak hanya berada pada kewenangan pemerintah kabupaten/kota, tapi juga pada level yang lebih rendah yaitu desa,” kata Mohammad Jafar Hafsah, Ketua Fraksi Partai Demokrat DPR.

 

Atas dasar itu, Jafar menegaskan, revisi UU PPTKLN mutlak dilakukan untuk memberikan perlindungan maksimal kepada para TKI di luar negeri. Penguatan terhadap isu-isu HAM, melindungi hak buruh, anti diskriminasi dan proteksi bagi keluarga buruh migran,  harus tercantum dalam UU berikutnya.

 

Selain itu, katanya, pasal-pasal yang menimbulkan dualisme kewenangan antara BNP2TKI dan Kemenakertrans harus dihapus. “Tugas pokok, fungsi dan wewenang antara regulator dan operator harus dipertegas, sehingga jelas lembaga yang bertanggungjawab terhadap isu-isu penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri,” ujar Jafar.

 

Undang-Undang hasil revisi juga diharapkan dapat mengatur pola relasi dan kordinasi di antara kantor-kantor pemerintah terkait dengan migrasi kerja, yaitu Kemenakertrans, BNP2TKI, Kemenlu, Kemensos, Kemenkes, Dirjen Imigrasi Kemenkumham dan Kepolisian.

 

Menurut Jafar, sudah sepatutnya TKI dipandang sebagai duta bangsa. Oleh sebab itu, sudah sepatutnya dalam UU tersebut TKI tidak hanya dideskripsikan sebagai tenaga kerja semata, tapi juga sebagai harga diri, harkat dan martabat bangsa. “Perlu aturan hukum dan sanksi tegas kepada pelaku yang merugikan TKI,” tandasnya.

 

Pakar hukum perburuhan Universitas Indonesia, Aloysius Uwiyono, mengatakan UU No. 39 Tahun 2004 belum melindungi TKI dari praktik human trafficking. Hal itu, katanya, bisa dilihat dari proses perekrutan TKI secara langsung. Tidak adanya kewajiban bagi PPTKI untuk memiliki perwakilan cabang juga menjadi salah satu penyebab terjadnya praktik tersebut.

Tags: